Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Selasa, 03 Mei 2011

Karaha Bodas Case

Penyelesaian sengketa Pertamina – Karaha Bodas melalui arbitrase internasional
Uraian singkat kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997. Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai dengan tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000 Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang lebih sebesar US$ 261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan Putusan Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali di Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 70 UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang berbunyi : Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 , pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional, UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure, sehingga mestinya Pertamina tidak dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar kemampuannya. Di samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak menggunakan hukum Indonesia, pada hal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan pertimbangan ex aequeo et bono
3.2 Komentar atas kasus Pertamina versus Karaha Bodas Company
Berbeda dengan kasus gula sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya dimana pengadilan Indonesia dengan percaya diri menyatakan bahwa terdapat pelanggaran terhadap causa yang halal dan ketertiban umum, dalam kasus ini hal ketertiban umum tersebut tidak disinggung-singgung. Pada hal adalah sangat nyata, bahwa alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada amar menimbangnya jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Jelaslah di sini, bahwa penafsiran, perluasan dan pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat situasional dan kontekstual yang dapat melebar dan meluas keluar dari wilayah hukum dan memasuki wilayah pertimbangan politik, ekonomi dan lain-lain.
Memang dalam hukum perdata internasional, ada asas yang menyatakan apabila pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi sendi azasi hukum nasional, hakim dalam hal-hal pengecualian, dapat mengesampingkan hukum asing ini. Tetapi pengesampingan tersebut haruslah sedemikian rupa alasannya, agar tidak tergelincir menjadi kebanggaan sempit pada hukum nasional, yang oleh Sudargo Gautama diistilahkan dengan chauvinisme yuridis . Di sisi lain, apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan sebaliknya meng adopt bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat dan kontekstual, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum.
Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya .
Beberapa hal yang menjadi catatan Hikmahanto adalah :
a. Dasar Kewenangan Pengadilan di Indonesia
Hikmahanto membedakan antara pembatalan dengan penolakan putusan arbitrase sebagai berikut : Terhadap putusan arbitsrase yang dibatalkan, pengadilan dapat meminta agar para pihak mengulang proses arbitrase. Putusan arbitrase yang dibatalkan, akan menafikan (seolah tidak pernah dibuat) putusan arbitrase tersebut. Dalam hal ini Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara, tetapi hanya terbatas pada memeriksa keabsahan dari segi prosedur pengambilan putusan arbitrase, seperti pemilihan para arbiter dan pemberlakuan hukum yang dipilih. Dalam pembatalan putusan arbitrase pengadilan dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Sedangkan penolakan putusan arbitrase tidak berarti pengadilan menafikan putusan tersebut, melainkan tidak dapatnya putusan arbitrase dilaksanakan di yurisdiksi pengadilan yang telah menolaknya. Apabila ternyata di negara lain masih ada asset dari pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut.
Menurut Hikmahanto, kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk mengadili kasus KBC di Indonesia, harus dipertanyakan. Dalam proses arbitrase paling tidak ada tiga jenis hukum yang berlaku, yaitu hukum material (substantive law), hukum acara yang mengikat (governing/ curial law) dan hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa (lex arbitri). Dari ketiga jenis hukum tersebut tidak ada satu jenispun yang memberi kewenangan kepada Pengadilan Indonesia untuk mengadili perkara dimaksud. Dalam kasus Karaha Bodas Company (KBC), hukum yang digunakan adalah hukum Switzerland (Swiss).
b. Upaya hukum yang dilakukan Pertamina
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court. Hikmahanto berpendapat upaya hukum melalui pengadilan Swiss lah yang benar. Pengadilan Swiss adalah pengadilan yang berwenang untuk melakukan pembatalan Putusan arbitrase Jenewa berdasrkan dua lalasan. Pertaman, Pertamina dan KBC telah menentukan seat arbitrase dalam JOC di Jenewa, dan kedua putusan arbitrase Jenewa di buat di Swiss.
Sebagai pihak yang kalah perlu dipertanyakan mengapa justru Pertamina yang melakukan pendaftaran arbitrase Jenewa di Indonesia. Apabila dimaksudkan untuk melakukan pembatalan agar memenuhi asas pendaftaran sesujai pasal 71 UU 30 tahun 1999, dan alasan tersebut dapat diterima oleh majelis hakim, pendirian yang demikian tidak tepat. Kewenangan Pengadilan Negeri di Indonesia untuk membatalkan putusan arbitrase hanyalah yang terbatas pada putusan arbitrase yang dibuat di Indonesia. Terhadap putusan arbitrase asing, kewenangan yang ada hanyalah terbatas dalam konteks pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan.
Belakangan, memang pendapat Hikmahanto tersebut di atas nampaknya sejalan dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Edward Baldwin et al mencatat, pada akhirnya putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut di atas, dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas dasar bahwa pengadilan negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk memeriksa perkara itu, dan juga tidak berwenang untuk memutuskan klaim KBC .
Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau Pengaturan Pemerintah yang menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada konsekuensi hukum dan klaim atau kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya hal tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh mendatangkan kerugian bagi diri sendiri. Hal ini dalam konstruksi hukum dapat dianalogkan dengan adagium umum pada hukum perdata dimana seorang bawahan tidak dapat dipersalahkan dari akibat perbuatannya yang sekedar melaksanakan perintah yang menugaskannya. Hal ini juga sejalan dengan pandangan hukum dalam Black Law yang menyatakan quicunque jussu judicis allquid fecerit non videtur dolo malo fecisse, qula parere necesse est .



==>> (http://bit.ly/m5mnxM)

Tidak ada komentar: