Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Senin, 13 Agustus 2012

IMPLEMENTASI MUTUAL LEGAL ASSISTANCE TERKAIT PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN KORUPSI YANG DISEMBUNYIKAN DI LUAR NEGERI DITINJAU DARI HUKUM KEJAHATAN INTERNASIONAL


DAFTAR  ISI
Halaman

Halaman Judul  ..…………………………………………………………....
Halaman Pengesahan ....…………………...........………………………..
Halaman Persetujuan Pembimbing .................………………………..
Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi ...................................................
Abstrak ..................................................................................................
Kata Pengantar .....................................................................................
Daftar Isi ..…………………………………………………………………....
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah ……………………………………….....
B.   Rumusan Masalah   ……………………………............................
C.   Tujuan dan Kegunaan penelitian ..……………………...........
1.    Tujuan penelitian ……………………….............................
2.    Kegunaan penelitian ……………………….......................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA                            
A.   Korupsi ……………………............…………………………….
1.    Pengertian Kejahatan Korupsi.…………………...………
2.    Hubungan Antara Kejahatan Korupsi dan Kejahatan Internasional …………………………………………………
3.    Instrumen Hukum Internasional Kejahatan Korupsi ……
B.   Hukum Kejahatan Internasional ………………………………
1.   Pengertian Kejahatan Internasional ..…………………….
2.   Mutual Legal Assistance ……….......................................
3.   Pengembalian Aset …..………………………………….....
BAB III METODE PENELITIAN
A.   Lokasi Penelitian        .......................................................................
B.   Jenis dan Sumber Data       ............................................................
C.   Teknik Pengumpulan Data     ........................................................
D.   Analisis Data         .............................................................................
BAB IV PEMBAHASAN
A.   Implementasi Mutual Legal Assistance terkait pengembalian aset hasil kejahatan korupsi yang disembunyikan di luar negeri dalam hukum nasional suatu negara berdasarkan UNCAC ...............................................
1.  Latar Belakang dan Perkembangan Mutual Legal Assistance ......................................................................
2.  Mutual Legal Assistance dalam United Nations Convention Againts Corruption 2003 ..............................
3.  Implementasi Mutual Legal Assistance dalam hukum nasional suatu negara ....................................................
B.   Faktor-Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Mutual Legal Assistance terkait pengembalian aset hasil kejahatan korupsi yang disembunyikan di luar negeri .........
1.    Faktor Hukum ....................................................................
2.    Faktor Penegak Hukum .....................................................
3.    Faktor sarana atau fasilitas ...............................................
4.    Faktor Eksternal ................................................................
a.    Perbedaan sistem hukum ...........................................
b.    Negara yang diminta (requested state) tidak kooperatif ...................................................................
BAB V PENUTUP
A.   Kesimpulan ..........................................................................
B.   Saran ...................................................................................
Daftar Pustaka
Lampiran
 (Skripsi Hukum Internasional) (Skripsi Hukum) (Skripsi)
i
ii
iii
iv
v
vi
xi

1
9
10
10
10


12
14

22
29
35
35
41
49

56
56
57
57




59

59

63

69


83
84
88
90
92
92

94

96
97


Rabu, 18 Juli 2012

Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pasar Modal.



Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1995,  separti halnya KUHP, juga membagi tindak pidana di bidang pasar modal menjadi dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran di bidang pasar modal.  Dari kasus-kasus pelanggaran  perundang-undangan di atas, sebagaimana telah dijelaskan ketika membahas tentang kejahatan pasar modal, bahwa selama ini belum ada satu kasuspun yang penyelesaiannya melalui jalur kebijakan pidana, tetapi melalui penjatuhan sanksi administrasi, yang penyelesaiannya dilakukan oleh dan di Bapepam.  Baru pada tahun 2004 terdapat satu kasus tindak pidana pasar modal yang sudah sampai ke pihak kejaksaan, dengan kata lain proses penyelesaiannya akan melalui sistem peradilan pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, meletakkan kebijakan kriminal melalui hukum pidana terhadap tindak pidana pelanggaran pasar modal dalam Pasal 103 ayat (2), yaitu pelanggaran Pasal 23,  Pasal 105, dan Pasal 109.  Untuk jelasnya  akan dikutip berikut ini;
Pasal 103 ayat (2)
Pelanggaran pasar modal  disini adalah,  pelanggaran terhadap Pasal 32 yaitu :
-          Seseorang yang melakukan kegiatan sebagai wakil penjamin efek. Wakil perantara pedagang efek atau wakil menager inveatsi  tanpa mendapatkan izin Bapepam
-          Ancaman bagi pelaku adalah maksimum pidana selama 1 (satu) tahun kurungan dan denda  Rp. 1000.000.000.00.-(satu milyar rupiah)
Pasal 105
Pelanggaran pasar modal yang dimaksudkan disini adalah pelanggaran Pasal 42 yang dilakukan oleh Manajer investasi, atau pihak terafiliasinya, yaitu :
Menerima imbalan (dalam bentuk apapun), baik langsung  maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi manejer investasi itu untuk membeli atau menjual efek untuk reksa dana.
Ancaman pidana berupa pidana kurungan maksimum 1 (satu) tahun kurungan dan denda Rp. 1.000.000.000.00.-(satu milyar rupiah).
Pasal 109
Yang dilanggar disini adalah perbuatan tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan Pasal 100, yang berkaitan dengan kewenangan Bapepam dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap semua pihak yang diduga atau terlibat dalam pelanggaran UUPM


Kalangan bisnis harus tetap mempertimbangkan di samping aspek hukum, juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, tetapi menemui kesulitan untuk mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis. Menurut tradisi, membicarakan etika bisnis terbatas pada topik tertentu seperti iklan yang menyesatkan, itikad baik dalam negosiasi kontrak, larangan penyuapan. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan tanggung jawah moral dari bisnis berkembang dari keputusan pemasaran seperti melanggar etika menjual produk yang berbahaya. masalah pemberian upah yang adil, tempat kerja yang melindungi kesehatan dan keselamatan buruh, etika dalam merger dan akuisisi, sampai kepada kerusakan lingkungan. Pendeknya semua keputusan bisnis, khususnya yang menimbulkan ketidakpastian dan konsekuensi yang berkepanjangan, yang mempengaruhi banyak individu, organisasi lain dan bahkan kegiatan pemerintah, dapat menghadirkan masalah etika yang serius. Di dalam kenyataannya etika yang ditegakkan atas dasar kesadaran individu-individu tidak dapat berjalan karena tarikan berbagai kepentingan, terutama untuk mencari keuntungan, tujuan yang paling utama dalam menjalankan bisnis. Oleh karenanya, standar moral harus dituangkan dalam aturan-aturan hukum yang diberikan sanksi. Disinilah letaknya campur tangan negara dalam persaingan bebas dan kebebasan berkontrak, untuk melindungi pihak yang lemah. Oleh karena itu hukum juga sepanjang sejarahnya bersumber pada dan mengandung nilai-nilai moral

Masa datang ini perlu memberikan prioritas pada Undang-Undang yang berkaitan dengan
akumulasi modal untuk pembiayaan pembangunan dan demokratisasi ekonomi untuk mencapai efisiensi, memenuhi fungsi hukum sebagai fasilitator bisnis. Optimalisasi sumber pembiayaan pembangunan memerlukan pembaruan Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Pasar Modal. Indonesia juga harus menerapkan Undang-Undang “money laundering” dengan konsekuen, antara lain untuk memberantas kejahatan narkotika dan korupsi. Ekonomi pasar yang didominasi oleh aktivitas pasar yang illegal akan tidak menjadi efisien, dan cenderung akan mendorong ketidak adilan dan pemerasan.
Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan “stability”, “predictability” dan “fairness”. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan

Selasa, 03 Januari 2012

Gugatan


Gugatan adalah hak setiap orang yang merasa dirugikan oleh pihak lain dengan mengajukannya ke pengadilan
· Gugatan dapat diajukan secara lisan (Pasal 118 ayat 1 HIR/Pasal 142 ayat 1 Rbg) atau tertulis (Pasal 120 HIR/Pasal 144 aya Rbg)
· Gugatan harus diajukan oleh yang berkepentingan
· Gugatan harus diajukan kepada pengadilan yang berwenang
· Penggugat dan tergugat mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum
· Peristiwa atau permasalahan belum lampau waktu
· Peristiwa atau permasalahan yang hendak digugat belum pernah diputuskan oleh pengadilan
· Jumlah tergugat harus lengkap
· Tuntutan hak harus merupakan tuntutan yang ada kepentingan hukumnya dan kebenarannya dapat dibuktikan dalam sidang
pemeriksaan
· Pokok gugatan berdasarkan pasal 8 (3) Rv meliputi:
o Identitas para pihak
o Dalil yang merupakan gambaran adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari tuntutan yang dikenal dengan nama fundamentum petendi (posita)
o Ada tuntutan (petitum) yang jelas dan tegas
Identitas para pihak
Identitas para pihak meliputi nama, pekerjaan, dan tempat tinggal
Fundamentum Petendi (Posita)
Fundamentum Petendi adalah dalil yang mengtgambarkan adanya hubungan yang merupakan dasar serta ulasan dari tuntutan
Fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian yang merupakan penjelasan duduknya perkara tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasr yuridis dari tuntutan
Uraian yuridis tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan, melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar tuntutan yang memberi gambaran tentang kejadian nyata yang merupakan dasar tuntutan
Petitum (Tuntutan)
Petitum atau tuntutan adalah apa yang diminta atau diharapkan Penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab di dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum atau tuntutan harus jelas dan tegas
Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan satu sama lain dapat berakibat tidak diterimanya gugatan
Tuntutan atau petitum terdiri atas tiga bagian
· Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara
· Tuntutan tambahan bukan tuntutan pokok namun masih ada hubungan dengan pokok perkara
· Tuntutan subsidair atau pengganti
Tuntutan tambahan biasanya berwujud
· Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara
· Tuntutan ”uitvoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meski ada perlawanan, banding, atau kasasi
· Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu
· Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan
· Dalam hal perceraian biasanya sering juga disertai dengan tuntutan nafkah bagi istri atau pembagian harta
Tuntutan subsidair biasanya diajukan berwujud ”agar hakim memberi putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono)
Gugatan dapat dicabut bila gugatan belum dijawab oleh tergugat, dan apabila tergugat sudah menjawab maka gugatan hanya dapat dicabut atas persetujuan tergugat

UPAYAN HUKUM
BANDING
Pasal 122
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan Bandung oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 123
(1)     Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.
(2)     Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.

KASASI
Pasal 43
(1)    Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
(2)     Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
(1)     Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.
(2)     Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.
(3)     Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat (1) mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara.
(4)     Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Dalam Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan.
Pasal 47
(1)     Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.
(2)     Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
(3)     Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi.

PENINJAUAN KEMBALI
Pasal 66
(1)     Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
(2)     Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
(3)     Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
Pasal 67
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a.      Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.      Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara
diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d.      Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.      Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f.       Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 68
(1)     Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(2)     Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Pasal 69
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk:
a.      Yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
b.      Yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.      Yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
d.      Yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.
Pasal 70
(1)     Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan