Perkembangan dalam teknologi dan pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling bersentuhan, saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain, tetapi juga saling bersaing. Hal ini secara dramatis terutama terlihat dalam kegiatan perdagangan dunia, baik di bidang barang-barang (trade in goods), maupun di bidang jasa (trade in services). Saling keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan mengenai aturan main yang berlaku. Aturan main yang diterapkan untuk perdagangan internasional adalah aturan main yang berkembang dalam sistem GATT/WTO.[16]
Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Berdagang dengan WTO dan kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis, memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum.
Perkembangan yang mandiri dari perusahaan multinasional kerap kali diramalkan sebagai perkembangan suatu badan yang benar-benar tanpa kebangsaan, dan benar-benar mandiri. Peradaban dunia yang kemudian menjadi hukum internasional turut mempengaruhi pembangunan hukum nasional dan sistem perekonomian negara berkembang. Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Sebagai suatu ideologi, globalism menawarkan seperangkat ide, konsep, keyakinan, norma dan tata nilai mengenai tatanan masyarakat dunia yang dicita-citakan serta bagaimana cara untuk mewujudkannya.[17]
Bagaimanapun karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum, globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur.
Globalisasi di bidang kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi, karena negara-negara maju membawa transaksi baru ke negara berkembang, maka mitra kerja mereka dari negara-negara berkembang akan menerima model-model kontrak bisnis internasional tersebut, dapat disebabkan karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut, dapat juga karena posisi tawar (bargainig position) yang lemah. Oleh karena itu tidak mengherankan, perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba (franchise), perjanjian lisensi (license), perjanjian keagenan (agence), memiliki format dan substansi yang hampir sama diberbagai negara. Konsultan hukum suatu negara dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu di negara-negara lain, persamaan ketentuan-ketentuan hukum di berbagai negara bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan dengan institusi-institusi hukum untuk mendapatkan akumulasi modal. Undang-undang Perseroan Terbatas diberbagai negara, baik dari negara-negara Civil Law maupun Common Law berisikan substansi yang serupa. Begitu juga dengan peraturan pasar modal, dimana saja tidak berbeda, satu sama lain. Hal ini terjadi karena dana yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas negara. Tuntutan keterbukaan (transparency) yang semakin besar, berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang (money laundering) dan insider trading mendorong kerjasama internasional.
Dibalik usaha keras menciptakan globalisasi hukum, tidak ada jaminan bahwa hukum tersebut akan memberikan hasil yang sama di semua tempat. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan politik, ekonomi dan budaya. Hukum itu tidak sama dengan kuda, orang tidak akan menamakan keledai atau zebra adalah kuda, walau bentuknya hampir sama, kuda adalah kuda. Hukum tidak demikian, apa yang disebut hukum itu tergantung kepada persepsi masyarakatnya.
Friedman, menyatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.[19] Dalam menghadapi hal yang demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara. “check and balance” hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya. Dalam hal tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan Law Enforcement, dua hal yang merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai.
E.C.W. Wade dan Godfrey Philips menyatakan tiga konsep mengenai “Rule of Law” yaitu The Rule Of Law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat yang dalam pandangan tradisi barat lahir dari alam demokrasi; The Rule of Law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; The Rule of Law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci oleh peraturan-peraturan hukum baik substantif maupun hukum acara.[20] Berbagai unsur dari pengertian Rule of Law tersebut haruslah dilaksanakan secara keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Pengecualian dan penangguhan salah satu unsurnya akan merusak keseluruhan sistim.
Pada tataran ide normatif dalam GBHN, hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan amanat ini, maka hukum tentu sangat memerlukan dukungan yang terdiri dari personalia yang profesional dan beretika, organisasi yang kapabel dan berdaya guna, serta peradilan yang bebas dan berhasil guna. Semuanya ini adalah sebagian prasyarat konsepsional yang paling di butuhkan dalam konteks kekinian Indonesia.[21] Sayangnya, ketika memasuki tataran implementasi-sosiologis, selain tampak dengan jelas berbagai hal yang menggembirakan, terlihat pula adanya “peminggiran” peran hukum dalam upaya mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Dalam berbagai arena pergulatan hidup masyarakat, terkadang dengan mudah dilihat atau dirasakan kemandulan peran dan fungsi hukum.
Seperti yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, bahwa Indonesia telah menjadi anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Ada manfaat yang dapat dirasakan oleh Indonesia sebagai anggota dari WTO dan adapula kerugian mengikuti organisasi ini, terlebih Indonesia masih merupakan negara berkembang yang belum kuat stabilitas perekonomiannya.
Keuntungan dalam sistem perdagangan WTO yang juga dapat dirasakan oleh Indonesia antara lain dapat dikelompokkan dalam 10 hal penting, yaitu :
1) Sistem perdagangan multilateral WTO mendorong terciptanya perdamaian
2) Persengketaan antarnegara dapat ditangani secara konstruktif
3) Peraturan – peraturan yang sesuai dengan sistem multilateral akan memudahkan perdagangan antarnegara
4) Sistem perdagangan multilateral mendorong pengurangan tarif dan hambatan non-tarif, sehingga biaya hidup menjadi lebih murah.
5) Sistem perdagangan multilateral memberikan banyak pilihan atas produk dengan kualitas berbeda kepada konsumen
6) Sistem perdagangan multilateral meningkatkan pendapatan
7) Sistem perdagangan multilateral mendorong pertumbuhan ekonomi
8) Prinsip – prinsip dasar sistem perdagangan WTO yang nondiskriminasi, bila secara konsisten diterapkan akan mendorong perdagangan berjalan lebih efisien
9) Pemerintah negara – negara anggota akan terlindungi dari praktik – praktik persaingan dagang antarnegara yang tidak sehat
10) Sistem pedagangan multilateral mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih
Dilihat dari penerapan prinsip – prinsip nondiskriminasi, yang menguntungkan bagi Indonesia misalnya ketika negara kita hendak mengimpor sesuatu ke negara lain, maka berdasarkan prinsip MFN bea masuk yang akan dikenakan terhadap komoditi dari Indonesia adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap komoditi dari negara lainnya, dan hal ini menguntungkan bagi negara kita.
Sebaliknya, penerapan prinsip National Treatment bisa saja merugikan Indonesia, dimana berdasarkan prinsip ini harus diberlakukan sama antara barang dalam negeri dengan barang dari luar negeri. Apabila Indonesia tidak siap untuk bersaing dengan barang – barang import yang masuk, maka barang produksi dalam negeri tentu saja akan kalah oleh barang – barang yang masuk dari luar negeri tersebut. Selain itu, Pemerintah Indonesia berdasarkan prinsip ini tidak boleh membedakan perlakuan terhadap pengusaha dalam negeri dengan perlakuan terhadap pengusaha dari luar negeri.
Meskipun ada pengecualian untuk negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana prinsip – prinsip nondiskriminasi dalam WTO ini boleh dikesampingkan hanya dalam jangka waktu 10 tahun saja. Dalam jangka waktu itu negara – negara berkembang yang mengesampingkan prinsip – prinsip WTO diberikan kesempatan untuk menata perekonomiannya agar dapat bersaing dalam pasar bebas. Penerapan prinsip ini juga dapat menurunkan pendapatan negara dari bea masuk barang import, karena tidak boleh ada pembedaan tarif bagi barang dari negara manapun. Setelah jangka waktu 10 tahun itu, Pemerintah disuatu Negara berkembang tidak dapat lagi memberikan perlakuan khusus seperti pemberian subsidi bagi pengusaha dalam negeri, karena dengan Masuknya Indonesia ke WTO berarti Indonesia harus patuh pada semua aturan – aturannya.
Dengan berlakunya GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) Bagi negara-negara industri yang telah maju, maka GaTT mempunyai implikasi positif, karena GATT justru mendukung daya saing mereka di pasar bebas. Sedangkan bagi Negara Indonesia dengan adanya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) ini, maka telah mengakibatkan perekonomian Indonesia semakin terpuruk sehingga bias dikatakan GATT berimplikasi negative terhadap perekonomian Indonesia apalagi bila Indonesia tidak mempersiapkan diri dalam pasar bebas, yaitu dengan mempersiapkan institusinya, terutama institusi hukum untuk bias bersaing dalam era persaingan global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar