Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Minggu, 13 Maret 2011

UNHCR dan pengungsi di Indonesia


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman), pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi adalah penduduk suatu negara yang pindah ke negara pengungsi politik lain karena aliran politik yang bertentangan dengan politik penguasa negara asalnya.

Menurut Konvensi Tahun 1951 pengungsi adalah :

“As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular sosial group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the xxviii country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it” (Pasal 1 Konvensi Tahun 1951).

Jadi pengungsi adalah orang-orang yang berada diluar negaranya dan terpaka meninggalkan negara mereka karena adanya peristiwa yang terjadi sebelum tanggal 1 Januari 1951 dan adanya rasa takut yang sangat akan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena pendapat politik yang dianut mereka. Bagi yang tidak memiliki warga negara, mereka berada yang di luar negara dimana mereka bertempat tinggal sebelumnya, sebagai akibat dari suatu peristiwa, dan tidak dapat, atau karena adanya rasa takut yang sedemikian rupa dan tidak bermaksud untuk kembali ke negara tersebut

 Tanggung jawab utama UNHCR yang lebih dikenal sebagai ‘perlindungan internasional’, adalah untuk menjamin kehormatan hak dasar asasi manusia bagi pengungsi, termasuk haknya untuk mencari suaka dan menjamin bahwa tak seorangpun boleh dipulangkan secara paksa ke suatu negara di mana ia mempunyai alasan untuk takut akan penganiayaan. Organisasi mendukung diciptakannya
perjanjian internasional untuk pengungsi, memantau ketaatan pemerintahan kepada hukum internasional serta memberi bantuan materi berupa makanan, air, tempat tinggal, dan perawatan medis bagi rakyat sipil dalam pelarian.

UNHCR juga mencarikan solusi permanen bagi pengungsi. Repatriasi Sukarela (Voluntary Repatriation) ke negara asalnya merupakan solusi yang diinginkan bagi sebagian besar pengungsi dunia. Namun demikian, hal ini tidak selalu dapat dilakukan dan dalam kasus tersebut UNHCR membantu orang-orang untuk membangun kehidupan mereka di tempat lain—apakah itu di negara tempat suaba (Local Integration) atau di negara ketiga yang mau menerima mereka (Resettlement).

UNHCR sewaktu-waktu diminta oleh Sekretaris Jenderal PBB untuk membantu orang-orang yang terpindahkan didalam negaranya sendiri dengan meningkatnya jumlah mereka sejak akhir Perang Dingin karena meningkatnya jumlah perang kesukuan dan perang saudara di seluruh dunia.

Tanggung jawab UNHCR yang telah terdefinisi dengan jelas terhadap pengungsi dan orang orang yang menjadi tanggung jawabnya tidak mencakup migran secara keseluruhan. Namun sudah menjadi kenyataan bahwa pengungsi sering bergerak dalam arus migrasi yang lebih luas. Pada saat yang sama, kurang adanya pilihan migrasi yang sah dan memadai merupakan insentif tambahan bagi mereka yang bukan pengungsi untuk mencoba masuk ke negara lain melalui jalur suaka, karena merupakan satu satunya cara yang memungkinkan mereka untuk masuk dan tinggal di Negara lain. Karena risiko dan dampak yang muncul bagi mereka, maka penting agar pengungsi mendapatkan perlindungan tanpa harus mencari jalan yang memaksa mereka untuk menempuh jalan perdagangan ilegal yang akan membahayakan mereka. Perlu dikembangkannya pemahaman serta pengelolaan yang lebih baik terhadap batasan antara suaka dan migrasi.

Keduanya ini harus didukung UNHCR meski sesuai wewenang UNHCR, agar orang orang yang membutuhkan perlindungan dapat memperolehnya, dan orang orang yang ingin bermigrasi mempunyai pilihan yang lain daripada harus menggunakan jalur suaka, dan agar para penyelundup tidak dapat menyalahgunakannya  dengan memanfaatkan kemungkinan jalur masuk ke negara secara tidak benar.

Peranan Indonesia dalam membantu mengatasi masalah pengungsi saat ini sangat dibutuhkan. Indonesia dinilai berhasil dalam membantu menyelesaikan berbagai konflik regional, terutama penyelesaian Kamboja. Perdamaian di Kamboja itu, setidaknya membuat masalah pengungsi Indocina untuk sementara bisa diatasi. Karena itu, sejak enam bulan lalu, status perwakikan UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees/Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi) di Indonesia dinaikkan menjadi basis regional yang membawahi ASEAN dan wilayah Indocina.

Indonesia dipilih menjadi basis regional UNHCR karena negeri ini dinilai relatif aman dibanding kawasan lain, setidaknya selama 20 tahun terakhir ini. Ia pun menilai, Indonesia siap menghadapi masalah seperti pengungsi. Selain itu, Indonesia banyak berkecimpung dalam kerja sama penyelesaian konflik regional. Karena itu, UNHCR bermaksud meningkatkan kerja sama tersebut. Untuk itu, UNHCR pun bersedia membantu pemerintah dalam proses penyelesaian melalui perundingan secara damai. Selain itu, secara geografis, posisi Indonesia menguntungkan. Juga, Indonesia telah menunjukkan kemampuannya dalam membantu mengatasi berbagai masalah regional. Misalnya, keterlibatan Indonesia dalam menciptakan perdamaian di Kamboja, baik melalui Ketua Bersama dengan Perancis dalam Paris International Conference on Cambodia, atau keterlibatan Indonesia dalam UNTAC, dan melalui pasukan penjaga perdamaian internasional lain. Alasan lain, Sekretariat ASEAN juga berada di Jakarta. Ditegaskan, peningkatan status UNHCR di Jakarta sama sekali tidak berkaitan dengan masalah Timtim.

UNHCR saat ini menghadapi masalah utama finansial. Dan ini masalah yang cukup sulit, karena kami benar-benar hanya tergantung pada negara-negara donor," lanjutnya. Donor terbesar masih datang dari negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia. Ia mengatakan, setelah pengungsi Indochina teratasi, tingkat tertinggi dalam masalah pengungsi saat ini dipegang Afrika, terutama dengan menyebarnya pengungsi Rwanda. Ditegaskan, penyelesaian masalah itu benar-benar tergantung pada kemampuan UNHCR, khususnya di bidang dana. "Mereka sangat lemah, bahkan kadang sudah tidak bisa berjalan," jelasnya. Selain itu, ada pula soal pengungsi yang sudah melakukan repratriasi, tetapi masih tetap memerlukan bantuan UNHCR dalam memulai kehidupannya kembali.

Adapun kegiatan dari UNHCR di Indonesia antara lain :

1.      Keterlibatannya dengan pengungsi individu dan pencari suaka
Indonesia adalah salah satu negara yang belum menjadi anggota Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967 dan juga tidak mempunyai mekanisme penentuan status pengungsi. Oleh karena itu, UNHCR memproses sendiri setiap permohonan status pengungsi di Indonesia. Setiap pencari suaka akan diwawancarai dengan didampingi seorang penerjemah yang berkompeten, memberikan keputusan yang beralasan untuk meluluskan permohonan calon pengungsi atau tidak, dan memberikan kesempatan kepada setiap pemohon tersebut untuk mengajukan banding jika permohonannya ditolak. Bagi mereka yang ternyata memang pengungsi, UNHCR berupaya mencarikan solusi yang berkelanjutan baginya, yang biasanya berupa pemukiman kembali ke negara lain untuk mana UNHCR bekerja sama erat dengan negara-negara tujuan. Per tanggal 01 May 2009 terdapat sekitar 439 orang yang diakui sebagai pengungsi 821 orang pencari suaka dan 26 orang lainnya yang menjadi perhatian UNHCR di Indonesia.
UNHCR bekerja sama erat dengan mitra kerjanya, Church World Service (CWS) dalam memberikan bantuan (termasuk bantuan darurat medis untuk pengungsi), dan International Organization for Migration (untuk urusan dokumen perjalanan ke negara-negara ketiga, dan repatriasi sukarela, juga bantuan bagi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR). UNHCR dan mitra kerjanya juga berupaya memenuhi kebutuhan psiko-sosial pengungsi dan orang-orang yang menjadi perhatiannya melalui konseling, kunjungan ke rumah dan membantu kegiatan kelompok bantuan mandiri (self-help). Pelayanan yang diberikan oleh UNHCR dan mitra kerjanya kepada pencari suaka dan pengungsi secara gratis (sama sekali tidak dipungut biaya).
Pemerintah Indonesia mendukung proses suaka ini dengan mengizinkan pencari suaka masuk ke wilayah Indonesia, merujuk para pencari suaka ke UNHCR, dan mengijinkan para pengungsi untuk tinggal di Indonesia sementara menunggu diperolehnya solusi yang berkelanjutan.

2.               Mempromosikan penerapan hukum pengungsi
UNHCR mendukung dikembangkannya suatu kerangka nasional untuk membantu pemerintah Indonesia dalam menangani datangnya orang-orang yang mencari perlindungan.  Untuk itu, UNHCR dalam diskusinya dengan pemerintah menerapkan 10 point Rencana Aksi untuk menangani mereka yang memerlukan perlindungan dalam suatu pergerakan penduduk secara besar-besaran, dan ini adalah langkah yang sangat tepat untuk meningkatkan kapasitas didalam pemerintah tersebut sehingga hal ini akhirnya dapat dipertanggunjawabkan dengan dukungan dari UNHCR. Untuk mencapai hal ini, UNHCR bekerja erat dengan organisasi lain di Indonesia seperti dengan Internasional Organisation for Migration (IOM). UNHCR dengan giat mendukung diterapkannya suatu hukum pengungsi oleh para pembuat kebijakan maupun pembuat hukum serta mengadakan lokakarya mengenai hukum pengungsi bagi petugas-petugas imigrasi, pengacara, LSM dan para mahasiswa dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait. Konvensi 1951 mengenai Pengungsi dan Protokol 1967 sudah terdapat dalam daftar Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia, 2004-2009. UNHCR sangat mendukung Pemerintah dalam rencananya menuju ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.

3.               UNHCR melaksanakan mandatnya mengenai warga tanpa memiliki kewarganegaraan di Indonesia
 UNHCR telah mengawali serangkaian pelaksanaan kegiatan peningkatan kemampuan untuk membantu Indonesia maupun negera-negara lainnya di kawasan ini untuk menginstitusionali-sasikan kesiapan darurat bencana. Untuk itu, UNHCR telah semakin memfokuskan kegiatannya untuk mendukung terciptanya kerjasama antar negara di kawasan Asia Tenggara. Upaya-upaya ini telah membantu Komite Penanggulangan Bencana ASEAN dalam menangani bencana (ACDM).

Melalui proyek ASEAN-UNHCR tentang Pemberdayaan Kemampuan dalam Merespon Kedaruratan dari ACDM, UNHCR telah menghidupkan kembali ACDM, memprakarsai berbagai kegiatan dikawasan tersebut dan memberi semangat untuk peningkatan penanganan bencana dan merespon kedaruratan di ASEAN. Hal ini membantu memberikan dukungan untuk pelaksanaan kegiatan regional ASEAN pada penanganan bencana (ARPDM), serta memfasilitasi pengembangan dari suatu perangkat hukum yang penting dan perjanjian ASEAN tentang Penanganan Bencana dan Meresepon Kedaruratan. Selain itu juga memfasilitasi pelaksanaan secara efisien dan efektif dari pengembangan kerangka kerja organisasi dan konsep-konsep yang dijalankan dari kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan dikawasan tersebut. Sekarang ini memberikan dukungan untuk mendirikan Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan untuk Penanganan Bencana (AHA Centre), dengan Indonesia sebagai tuan rumah.

UNHCR juga merupakan anggota dari United Nations Technical Group for Disaster Risk Reduction (Tim Teknis Pengurangan Risiko Bencana PBB) dan bekerjasama dengan kelompok-kelompok kerja guna membantu Indonesia dalam rencana pengelolaan sistem bantuan darurat bencananya.
Aktivitas UNHCR di Indonesia yang dapat dianggap sebagai bentuk nyata dari pemajuan hukum pengungsi dimulai pada tahun 1981 dengan mulainya institusi akademis menyebarluaskan hukum pengungsi tersebut. Kuliah-kuliah umum mulai diberikan di sekolah-sekolah hukum Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, Universitas Airlangga di Surabaya dan Universitas Indonesia di Jakarta.

UNHCR memulai kembali kegiatan-kegiatan pemajuannya pada tahun 1995 dan mempelopori pemajuan hukum pengungsi. Kantor UNHCR di Jakarta mengorganisir seminar-seminar untuk peluncuran buku tahunan UNHCR yang berjudul The State of World’s Refugees. Pada seminar-seminar tersebut, prinsip-prinsip hukum pengungsi dirujuk oleh para pembicara dan didiskusikan. Sangatlah nyata bahwa hampir semua peserta tidak mengenali hukum tersebut dan juga prinsip-prinsip dasarnya.

Upaya-upaya yang berkesinambungan untuk mempromosikan hukum pengungsi dilaksanakan sejak tahun 1998 setelah jatuhnya rejim Orde Baru yang otoriterian dan represif. Kondisi menjadi lebih kondusif untuk upaya-upaya tersebut karena sebagian besar masyarakat menjadi lebih terbuka dan berani mengekspresikan dirinya. Maksud dan tujuannya menjadi lebih banyak, sementara sifat, format dan kelompok targetnya lebih bervariasi. Maksudnya termasuk membentuk pemahaman dan kepedulian terhadap persoalan pengungsi secara keseluruhan, yang tidak hanya merupakan persoalan sosial dan humanitarian tetapi juga merupakan persoalan hukum. Maksud yang lain adalah keberadaan instrumen hukum internasional yang berhubungan dengan peran UNHCR. Tujuannya terdiri dari dua bagian. Pertama, untuk menyebar-luaskan pemahaman di kalangan akademisi bahwa hukum pengungsi telah menjadi bagian dari hukum internasional dan, lebih utama lagi, sebagaimana dengan kasus hukum humanitarian, terdiri dari penerapan hukum hak asasi manusia

Dalam kondisi yang spesifik. Hal ini dimaksudkan untuk kemudian memasukkan subyek hukum pengungsi di dalam kurikulum. Kedua, dari sisi praktis, untuk mendorong Pemerintah untuk menerima Konvensi tahun 1951 dan/atau Protokol tahun 1967. Sifat dari pelaksanaannya adalah secara teoritis dan juga praktis, sementara formatnya tergantung pada sifat pelaksanaannya, yang terdiri dari kuliah, seminar, lokakarya, pertemuan para ahli atau pelatihan. Tergantung dari maksud, tujuan dan sifat pelaksanaannya, kelompok target terdiri dari pelajar, pengajar hukum internasional, petugas pemerintah, anggota parlemen dan anggota masyarakat sipil.

Upaya untuk memajukan hukum pengungsi juga dilakukan dalam proses perancangan peraturan tentang hubungan luar negeri, yang dimulai pada tahun 1996 sesuai dengan rekomendasi. Pada awalnya, rancangan tersebut, berkaitan dengan “Teks Akademis”, merupakan suatu dokumen analitis dan ilmiah yang diperlukan untuk mendukung pendahuluan dari rancangan peraturan mana pun sebelum diproses lebih lanjut. Walaupun tidak sepenuhnya bersifat normatif, peraturan tersebut, yang kemudian menjadi Undang-Undang No.37 Tahun 1999 dicetuskan pada tanggal 14 September 1999, mencantumkan tiga pasal berkaitan dengan pemberian suaka dan pengungsi (Pasal 25, 26 dan 27). Pasal 25 merupakan prinsip dari hukum pengungsi. Pasal ini menetapkan, “Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”. Rujukan pada kebiasaan dan praktek internasional menunjukkan penerimaan Indonesia terhadap hukum internasional, baik yang konvensional maupun merupakan kebiasaan, termasuk kebiasaan dan praktek internasional tentang pemberian tempat pengasingan, berkaitan dengan pengungsi, Undang-Undang tersebut masih berpandangan bahwa hal tersebut masih harus diatur oleh peraturan tingkat nasional. Hal ini tercermin dari Pasal 27 yang menentukan bahwa “Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri” (Ayat (1)) dan bahwa “Pokok-pokok kebijakan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden” (Ayat (2)). Suatu komitmen untuk bekerja sama dengan UNHCR tercermin dalam penjelasan Pasal 27(1), yang menyatakan, antara lain, bahwa “Indonesia memberikan kerjasamanya kepada badan yang berwenang dalam upaya mencari penyelesaian masalah pengungsi itu”. Perlu dicatat bahwa di bawah Pasal 25(2) penggunaan otoritas pemberian suaka yang terletak di tangan Presiden berdasarkan Ayat (1), harus diberi peraturan berupa Keputusan Presiden. Sangat disayangkan, baik Keputusan Presiden yang diminta oleh Pasal 25(2) tentang pemberian suaka dan oleh Pasal 27(2) tentang pengungsi tidak, sampai saat ini, ditetapkan, selain melihat fakta bahwa Undang-Undang No.27 Tahun 1999 akan berumur 5 tahun pada tanggal 14 September 2004.
Dalam hal penyelesaian permasalahan pengungsi khususnya dalam Negara Indonesia UNHCR menjalin kerjasama dengan pemerintah Indonesia, LSM, dan organisasi-organisasi lain yang bekerja dalam bidang HAM, maupun bidang kesehatan untuk saling mengisi dan bekerja sama dalam hal penanganan pengungsi baik pengungsi local maupun pengungsi dari luar negeri.
Keterlibatan UNHCR di Indonesia seperti pada kasus pengungsi etnis rohingya di Aceh, penanganan pengungsi timor leste, penanganan kasus pengungsi wasior, dan masih banyak lagi kasus pengungsi yang mendapat perhatian dan bantuan dari UNHCR dalam penanganannya. Karena dalam pelaksanaanya UNHCR memiliki mandat untuk memberikan perlindungan terhadap pengungsi dan memfasilitasi mereka untuk menyelesaikan masalah pengungsi. Dan mandat ini tak terbatas pada ‘pengungsi’ yang dimaksud pada Konvensi 1951 saja melainkan juga untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan (stateless persons) orang-orang yang kembali pulang dari pengungsiannya (returnees) dan juga, pada kasus-kasus tertentu, adalah para “pengungsi dalam negeri” (internally displacement persons) atau mereka yang terusir dari daerah asalnya namun tidak sampai menyeberang ke negeri lain. Maka, kali ini kita patut bangga dengan rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia. Keputusan menampung sementara pencari suaka Rohingya patut dijadikan contoh bagi negara- negara lain, dan adalah hal yang sepatutnya dilakukan dari sisi hukum internasional. Karena memberikan penampungan sementara adalah hal yang sepatutnya dilakukan sesuai asas non refoulement dalam Konvensi 1951.
Adapun kendala dan hambatan yang dihadapi oleh UNHCR dan pemerintah dalam hal ini pemerintah Indonesia dalam menangani permasalahan pengungsi di Indonesia antara lain :
1.      Seberapa lama aparat yang membantu disana bisa menjamin penampungan sementara
2.      Koordinasi yang kurang dari informan yang ada dilapangan kepada pihak pemerintah, serta sulitnya mendapat data yang valid soal informasi yang ada (datanya sering berubah-ubah)
3.      Kapasitas tidak sebanding dengan pekerjaan yang harus diselesaikan, kapasitas (jumlah personil) yang sedikit dan harus menyelesaikan pekerjaan yang berat dan banyak
4.      Banyaknya pengungsi yang tidak sabar untuk menunggu penempatan ke Negara tujuan ataupun ke Negara ketiga
5.      Respon yang terkadang kurang baik dialami oleh pengungsi dari warga local yang mengakibatkan pemerintah sulit untuk melakukan penanganan dengan cepat dan tepat.

Tidak ada komentar: