Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Rabu, 23 Maret 2011

TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL


Terjadinya kejahatan terorisme akhir-akhir ini (paling tidak mulai 2000-an) menunjukkan intensitas yang lebih dibandingkan masa sebelumnya. Tidak hanya di Indonesia (Bali dan Jakarta), tetapi juga tempat-tempat lain di dunia, di New York (Amerika Serikat), Pakistan, Spanyol, sampai dengan Inggris. Sebagian besar mereka melakukannya dengan menggunakan bom bunuh diri, disamping cara-cara lain, di New York misalnya dengan menabrakkan pesawat udara ke gedung WTC. Jika dibandingkan kejahatan terorisme pada 1990-an, kejahatan terorisme yang terjadi saat ini jauh lebih unggul baik dalam sisi organisasi, sumber daya manusia, prasarana, pendanaan, maupun tekhnologi yang dipakai. Terorisme abad 21 dikenal dengan terorisme komprehensif (Comprehensive Terrorism).
Dari kejadian-kejadian tersebut, kejahatan terorisme sesungguhnya dapat dikelompokkan dalam dua hal yaitu, pertama, terorisme yang didalamnya tidak dijumpai unsur asing baik korban maupun pelakunya (domestic terrorism) dan kedua, terorisme yang bersifat trans-nasional atau yang disebut dengan Internasional Terrorism, dalam artian pada kejadian tersebut didalamnya melibatkan unsur asing, baik yang menyangkut (sebagian) pelaku dan atau (sebagian) korban, walaupun kejadian itu berada diwilayah territorial negara tertentu. Terorisme Domestik dan Terorisme Internasional hanya dapat dibedakan, tetapi acapkali keduanya tidak dapat dipisahkan. Terorisme domestik yang terjadi di suatu wilayah negara tertentu terkadang mempunyai hubungan dan atau memiliki jaringan dengan organisasi atau kelompok terorisme asing (negara lain). Adanya jaringan tersebut ditunjukkan melalui pemberian bantuan pelatihan maupun dana yang diperlukan untuk melaksanakan misalnya.
Pengertian dan Pengaturan Terorisme Menurut Hukum Internasional.
Upaya untuk mendapatkan pemahaman tentang terorisme terus dilakukan walaupun sampai saat ini belum mendapatkan pemahaman yang tunggal serta diterima secara umum. Belum disepakatinya pemahaman tersebut karena acap kali terorisme dalam skala global sering dikonotasikan dengan ketidakadilan global (global injustice) dan terkadang juga sering dikaitkan dengan kolonisasi abad modern.
Banyak sarjana yang telah dan terus berusaha mencoba memberikan arti dan pemahaman tentang terorisme ini, dari beberapa definisi itu dapat ditarik garis besarnya bahwa terorisme akan bersangkut-paut dengan muatan atau motif politik, menggunakan kekerasan (force) secara tidak sah, yang tidak saja menimbulkan kerugian harta benda tapi lebih jauh dari itu membuat ketakutan yang luar biasa khususnya kepada warga masyarakat yang tidak berdosa yang terkait dengan motif tersebut. Namun dalam perkembangannya, kejahatan terorisme tidak saja didasarkan pada motif politik atau kepentingan politik, tapi juga pada motif dan kepentingan non politik seperti sosial dan ekonomi.
Dari aspek normatife, Hukum Internasional telah memberikan pengaturan terhadap tindakan terorisme dengan diaturnya hal tersebut dalam beberapa konvensi dan resolusi Dewan Keamanan PBB. Konvensi Internasional yang mengatur terorisme adalah : (i). International Convention for These prevention, and Panisment of Terrorism tahun 1937 (Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Terorisme); (ii). International Convention for The Suppression of Terrorist Bombing tahun 1997 (Konvensi Internasional tentang Penentangan Pemboman oleh Teroris); (iii). International Cnvention for The Suppression of the Financing Terrorism tahun 1999 (Konvensi Internasional tentang Menentang Pendanaan untuk Teroris); (iv). Resolusi Dewan Keamanan PBB yang penting mengenai pemberantasan terorisme, yaitu Resolusi nomor 1368 tahun 2001 tentang pernyataan simpati PBB terhadap korban tragedi 11 September 2001, tragedi di gedung WTC. Hal yang sama juga ketika di daerah Kuta, Bali mendapat terror bom melalui bom bunuh diri pada tahun 2002, melalui Resolusi nomor 1438, Dewan Keamanan PBB juga menegaskan perlunya kerja sama dalam pemberantaran kejahatan terorisme, dan Resolusi nomor 73 tahun 2001 tentang pembekuan Aset-aset Teroris Al Qaedah dibawah pimpinan Osama Bin Laden.
Di Indonesia sendiri, dimulai dari Peraturan Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 15 ditahun 2003. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 7 Maret 2006 juga telah sepakat untuk meratifikasi Internasional Convention for Suppression of Terrorist Bombing (Konvensi Internasional tentang Penentangan Pemboman oleh Teroris) tahun 1997, dan Convention for The Suppression of the financing Terrorism (Konvensi Internasional tentang Menentang Pendanaan untuk Teroris) tahun 1999, menjadi Undang-undang.
Kejahatan Terorisme sebagai Kejahatan Internasional.
Untuk memahami apakah kejahatan terorisme sebagai kejahatan internasional atau tidak, harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional (Internasional Crime).

Terhadap kejahatan Internasional, Tien Saefullah memerinci unsur-unsur yang terkandung dalam kejahatan internasional, yaitu : pertama, perbuatan itu secara universal, dalam artian semua negara harus mengkulifikasikan sebagai tindak pidana; kedua, pelakunya merupakan enemy of mankind (musuh umat manusia) dan tindakannya bertentangan dengan kepentingan umat manusia, dan ketiga, menyerahkan pelaku tindak pidana tersebut untuk diadili dengan prinsip universal.

Bassiouni memberikan pengertian atas kejahatan internasional yaitu sebagai berikut : “Internastional Crimes is any conduct which is designated as a crime in a multilateral convention will a significant number of state parties to it, provided the instrument contains one of ten penal characteristic”. Dengan demikian untuk menentukan adanya kejahatan internasional tidak cukup hanya dengan mengetahui apakah kejahatan tersebut sudah diatur dalam konvensi yang bersifat multilateral, tapi juga harus memenuhi salah satu dari sepuluh karakteristik. Dari kriteria tersebut Bassiouni menetapkan 22 macam kejahatan yang dapat dipandang sebagai kejahatan internasional, terorisme tidak termasuk didalamnya.
Demikian juga jika dicermati dari konvensi internasional sejak tahun 1937 sampai tahun 1999 dan beberapa Resolusi Dewan Keamanan seperti yang sudah disebut diatas, penetapan terorisme sebagai kejahatan sebatas kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia (threaten to the peace and security of mankind) sesuai dengan chapter VII Piagam PBB, dengan implikasi hukum adanya kewajiban setiap negara untuk menangkap, menuntut, menghukum atau mengekstradisi pelaku teroris.
Hal yang sama jika memperhatikan Statuta Roma tentang Internasional Criminal Court (ICC) yang ditandatangani oleh 120 negara pada tanggal 17 juli 1998. ICC dibentuk sebagai pengadilan internasional permanent yang khusus mengadili para pelaku yang didakwa melakukan kejahatan internasional. Pasal 5 sampai dengan pasal 8 yang mengatur tentang kewenangan mengadili atau yudiksi ICC tidak mencantumkan terorisme sebagai kejahatan yang dapat diadilinya.

Walaupun secara eksplisit status hukum terorisme belum merupakan kejahatan internasional, namun melalui resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan pascaserangan bom di gedung WTC pada tahun 2001 menyerukan agar persoalan terorisme ini mendapatkan perhatian dan kerja sama sepenuhnya dari negara-negara. Ini berarti pemberantasan dan pencegahan kejahatan terorisme tidak saja menjadi korban atau yang terancam saja tetapi lebih menjadi tanggung jawab kolektif
dari masyarakat internasional
Penutup :
Sebagai akhir dari tulisan ini disampaikan beberapa kesimpulan, yaitu : Pertama, sampai saat ini masih belum dikemukakan adanya definisi atau batasan yang dapat diterima secara umum tentang terorisme; Kedua Terorisme sampai saat ini oleh PBB belum dapat diterima dan dinyatakan sebagai kejahatan internasional, namun melihat sifat dan akibat yang ditimbulkannya, terorisme dapat disetarakan sebagai kejahatan internasional.
Dikutip dari tulisan : TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh Arief Setiawan, S.H.

Tidak ada komentar: