Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Selasa, 05 Mei 2015

Tugas Pembaharuan Hukum Pidana

POLEMIK mengenai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terus bergulir. Polemik paling hangat menyangkut beberapa materi krusial, seperti pasal menyangkut penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden

Dalam draf RUU KUHAP BAB  II mengenai  tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden pada bagian kesatu pasal 264 disebutkan, setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun
Bagian kedua pada pasal 265 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 266 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Menarik dicermati, dalam pasal itu tidak djelaskan secara detail batasan yang dikategorikan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Tentu saja, sebagian besar kalangan merasa terusik. Tanpa definisi dan batasan yang jelas, pasal ini ibarat pasal karet
Bukan tidak mungkin, unjuk rasa mengkritik kebijakan presiden dan wakil presiden bisa berujung pada pidana. Apalagi, kritik tersebut menuntut sang presiden maupun wakil presiden mundur dari jabatannya. Kondisi ini mengingatkan pada zaman kelam di era orde baru yang terkenal otoriter dan antikritik.
UU tersebut bisa menyebabkan suara kritik terhadap kebijakan presiden maupun wakil presiden yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat semakin sumir terdengar. Sebab, sikap kritis itu dihantui akan ancaman pasal mengenai penghinaan terhadap presiden.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri pernah membatalkan UU tentang penghinaan terhadap presiden tersebut dengan alasan bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Tidak sekadar sikap kritis masyarakat terhadap presiden dan wakil presiden yang dipersempit dengan acaman lahirnya UU itu. Ruang kebebasan berkespresi dalam berkarya juga semakin dipersempit.

Misalnya, ilustrasi kekecewaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dituangkan dalam bentuk karya seni juga semakin terbatasi dengan sendirinya, karena dihantui pasal tersebut.

Tidak ada komentar: