Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Selasa, 29 Desember 2009

Makalah hukum peradilan agama

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Rekonvensi diatur dalam R.Bg pasal 157 dan pasal 158. Dalam hukum acara perdata,gugat rekonvensi dikenal dikenal dengan gugat balik. Tergugat dapat melakukan gugat rekonvensi apabila secara kebetulan berkaitan dengan hukum kebendaan yang sedang diperiksa dalam siding pengadilan, gugat rekonvensi tidak boleh dilaksanakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum perorangan atau yang menyangkut dengan status orang. Jadi tidak semua gugat penggugat dibalas dengan gugat rekonvensi. Tujuan gugat rekonvensi ini adalah untuk mengimbangi gugatan penggugat, agar sama-sama dapat diperiksa sekaligus.
Di samping itu, tujuan dari gugat rekonvensi ini adalah menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa dalam persidangan sekaligus, mempermudah prosedur pemeriksaan, menhindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain, menetralisir tuntutan konvensi, memudahkan acara pembuktian, dan menghemat biaya.
Dengan kemungkinannya pihak tergugat mengajukan gugat rekonvensi terhadap penggugat, maka tergugat tidak perlu mengajukan gugatan baru, gugatan rekonvensi ini cukup diajukan bersama-sama dengan jawaban terhadap gugatan penggugat. Jadi,dalam gugatan itu ada gugatan yang saling berlawanan yaitu gugatn konvensi dan ada gugatan rekonvensi.

1.2 RUMUSAN MASALAH
-Apa-apa saja yang menjadi syarat-syarat dalam gugatan rekonvensi
-Rumusan tentang perkara permohonan cerai talak dengan rekonvensi serta cara penyelesaiannya

1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN PENULISAN
-untuk mengetahui pengertian dan hal-hal yang menyangkut/berkaitan dengan gugatan konvensi
-agar dapat memahami lebih dalam proses dan cara pelaksanaan rekonvensi itu sendiri


1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM REKONVENSI
Gugat rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka atau gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugat balasan (gugat balik) terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya [Pasal 132a ayat (1) HIR].
Pada dasarnya gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat dan adapun kesempatan mengajukan gugatan rekonvensi ini diberikan oleh pasal 132 a dan 132b HIR (ps.157.158 Rbg) yang dialihkan dari Rv.
Misalnya:
penggugat menuntut dipenuhinya perjanjian, sedangkan tergugat menuntut
diputuskannya perjanjian dalam gugat konvensi dituntut pernyataan sah dan
beharga dari suatu sita konservatoir, sedangkan dalam rekonvensi dituntut
pengangkatan sita konservatoir tersebut dengan disertai ganti kerugian; karena
terjadinya tabrakan mobil antara penggugat dengan tergugat, maka penggugat
menuntut ganti kerugian kepada tergugat karena kesalahan terletak pada
tergugat, dalam rekonvensi tergugat menuntut kerugian kepada penggugat dengan
alasan bahwa penggugatlah yang salah.
Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat, baik tertulis maupun lisan (ps. 132b (1) HIR. 158 (1) Rbg). Ini tidak berarti bahwa gugat
rekonvensi itu harus diajukan pada hari sidang pertama. Dalam duplikan gugat
rekonvensi itu masih dapat diajukan.
Gugatan rekonvensi hendaknya berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan hukum kebendaan, bukan yang berhubungan dengan hukum perorangan atau berkaitan dengan status seseorang. Sebagai contoh dalam praktek sidang peradilan agama, jika suami selaku pemohon, kemudian pihak istri selaku termohon menuntut kepada pihak suami sebagai pemohon asal perihal nafkah wajib, mut’ah, kiswah, mas kawin dan pemeliharaan anak, Begitu juga bila istri mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya baik dengan jalan pelanggaran ta’lik talak (Sighot ta’lik talak) maupun syiqoq, maka pihak suami sebagai tergugat mengajukan gugat balik (rekonvensi) tentang harta bersama, pemeliharaan anal dan lain-lain.

2
Adapun dasar hukum rekonvensi diatur dalam
• pasal 132 a dan 132 b HIR yang disisipkan dalam HIR dengan Stb. 1927-300 yang diambil alih dari pasal 244-247 B.Rv.
• selain itu dalam Rbg, rekonvensi ini diatur dalam pasal 57 dan pasal 58.

2.2 masalah pertama tentang syarat-syarat gugatan rekonvensi

Adapun hal-hal yang menjadi syarat dalam mengajukan gugatan rekonvensi di muka persidangan pengadilan agama :
1. Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama oleh tergugat baik tertulis maupun dengan lisan. namun menurut Wiryono Projodikoro, gugatan rekonvensi masih dapat diajukan dalam acara jawab menjawab dan sebelum acarapembuktian.
2. Tidak dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat pertama tidak diajukan.
3. Penyusunan gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi.
Baik gugat asal (konvensi) maupun gugatan balik (rekonvensi) pada umumnya diselesaikan secara sekaligus dengan satu putusan, dan pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yakni pertimbangan hukum dalam konvensi dan pertimbangan hukum dalam rekonvensi.

Menurut ketentuan pasal 132 (a) HIR dan pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan, tergugat dapat mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
1. Penggugat dalam kualitas berbeda.Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penggugat bertindak dalam suatu kualitas (sebagai kuasa hukum), sedangkan rekonvensinya ditujukan kepada diri sendiri pribadi penggugat (pribadi kuasa hukum tersebut).
2. Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa gugatan rekonvensi.Gugatan rekonvensi tidak diperbolehkan terhadap perkara yang tidak menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti suami menceraikan istri, istri mengajukan rekonvensi , mau cerai dengan syarat suami membayar hutangnya kepada orang tua istri tersebut. Masalah sengketa hutang piutang bukan kewenangan pengadilan agama.



3
3. Perkara mengenai pelaksanaan putusan.Gugatan rekonvensi tidak boleh dilakukan dalam hal pelaksanaan putusan hakim. Seperti hakim memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan, yaitu menyerahkan satu unit mobil Daihatsu Taruna kepada penggugat, kemudian tergugat mengajukan rekonvensi supaya penggugat membayar hutangnya yang dijamin dengan mobil tersebut kepada pihak ketiga, rekonvensi seperti ini harus ditolak.

A. Pencabutan dan Mengubah surat Gugatan.Perihal mengubah biasa berarti menambah, mengurangi, bahkan bias jadi berubah sikap untuk mencabut surat gugatan. Secara tegas tidak diatur dalam HIR atau R.Bg, dengan demikian hakim ada keleluasaan untuk menentukan sampai dimana penambahan atau pengurangan surat gugatan itu akan akan diperbolehkan, dengan selalu memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, terutama kepentingan pihak tergugat sebagai pihak yang digugat, bagi tergugat berhak membela diri, dengan harapan tidak dirugikan dengan adanya perubahan atau penambahan dalam gugatan tersebut. Disamping itu perubahan atau penambahan yang dilakukan penggugat tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata, disamping tidak mengubahatau menyimpang dari fakta materiil walaupun tidak ada tuntutan subsider.

Perubahan gugatan tidak diperbolehkan apabila berdasar atas keadaan hukum yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain atau apabila penggugat mengemukakan keadaan baru sehingga dengan demikian mohon putusan hakim tentang suatu hubungan hukum antara kedua belah pihak yang lain dari pada yang semula telah dikemukakan.
Contoh perubahan gugatan, semula gugatan perceraian adalah karena perzinahan, kemudian mohon diubah sehingga dasar gugatan perceraian menjadi keretakan rumah tangga yang tidak dapat diperbaki (Onheel bare tweespact). Sebagai contoh penembahan gugatan , dalam hal permohonan agar gugatan ditambah dengan petitum dimaksudkan agar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoer bij voorraad).
Perihal penembahan atau pengurangan atau perubahan gugatan yang dimohon oleh pihak penggugatsetelah tergugat menyampaikan jawaban, hal itu harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari tergugat, apabila pihak tergugat menyatakan kewberatan, maka permohonan mengenai perubahan tau penambahan atau pengurangan gugatan tersebut harus ditolak. Sebagai contoh dalam permohonan cerai talak, bila pemohon melakukan perubahan atau tidak jadimenjatuhkan talak, maka hal ini akan menguntungkan bagi termohon untuk bersatu kembali, tetapi apabila termohon ternyata menginginkan untuk dicerai, maka hal tersebut akan merugikan termohon, sehingga termohon harus mengajukan gugatan sendiri. Artinya si istri harus mengajukan gugatan cerai kepada pengadilan.
4
Mengubah gugatan diperbolehkan sepanjang masih dalam tahap pemeriksaan perkara, dengan catatan tidak sampai pada mengubah atau menambah (“onderwerp van geschil”) petitum atau pokok tuntutan. Dalam arti lain perubahan gugatan dapat dikabulkan asal tidak melampaui batas-batas materi pokok pertama yang dapat dikabulkan kerugian pada hak-hak pembelaan tergugat. Dan perubahan gugatan tidak dibenarkan apabila pemeriksaan perkara sudah hamper selesai, pada saat mana dalil-dalil tangkisan sudah disampaikan. Sehubungan dengan asas kedudukan majlis hakim memimpin persidangan adalah aktif dan dibebani fungsi memberi bantuan dalam hal-hal yang bertujuan memperlancar perkara dan tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.Hakim secara bijaksana harus menawarkan bahkan menyarankan kepada penggugat apabila terdapat hal-hal dalam suratgugatan untuk diubah, ditambah atau dikurangi, apabila hal tersebut sangat diperlukan untuk mempercepat penyelesaian perkara. Berkaitan dengan pencabutan gugatan atau permohonan oleh penggugat adalah tidak diatur dalah HIR atau R.Bg, namun dalam praktek gugatan dapat saja dicabut oleh penggugat secara sepihak dengan catatan apabila perkara belum diperiksa, apabila perkara sudah diperiksa dan tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu maka pencabutan perkara tersebut haruys mendapat persetujuan dari pihak tergugat.
Apabila gugatan dicabut sebelum perkara diperiksa maka dianggap seperti belum pernah diajukan. Akan tetapi bila gugatannya dicabut setelah perkara sudah mulai diperiksa dan tergugat tidak menyetujui pencabutan ini, maka hakim akan memberikan keputusannya terhadap perkara itu berupa penetapan.

B. Intervensi.Pembahasan mengenai intervensi adalah tidak diatur dalam HIR dan RBg, dan juga dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama , hal itu diatur dalam RV pasal 279 sampai dengan pasal 282, namundemikian pasal dalam RV tersebut berlaku juga dalam proses persidangan di Pengadilan Agama. Yang dimaksud dengan intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara. Dalam Reglement op de burgerlijke rechtsvordering (RV) terdapat dua bentuk intervensi,
yaitu intervensi yang bersifat menengahi (tussenkomst) dan intervensi yang bersifat menyertai (voeging). Kecuali dua bentuk intervensi tersebut dijumpai juga dalam praktek intervensi vrijwaring.



5
- Tussenkomst (menengahi) Yang disebut dengan menengahi (tussenkomst) adalah aksi hukum pihak ketiga dalam perkara perdata yang sedang berlangsung dan membela kepentingannya sendiri untuk melawan kedua pihak yang sedang berperkara.
Dengan keterlibatannya pihak ketiga sebagai pihak yang berdiri sendiri dan membela kepentingannya, maka pihak ketiga ini melawan kepentingan penggugat dan tergugat yang sedang berperkara, pihak ketiga tersebut disebut intervenent. Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi perdebatan segi tiga. Intervensi dalam bentuk tussenkomst bias terkabulkan dan bias juga ditolak, pengabulan atau penolakan tersebut dalam bentuk putusan sela, dalam hal ini putusan insidentil.
Dikabulkannya intervensi tusskomst, putusannya dijatuhkan sekaligus dalam satu putusan, apakah penggugat atau tergugat yang menang atau ataukah intervenent yang menang, yang pasti adalah bahwa salah satu dari kedua gugatan itu yang dikabulkan atau mungkin juga kedua-duanya ditolak.Ciri-ciri tussenkomst: Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri. Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian, atau kehilangan haknya yang mungkin terancam. Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara. Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara (Penggabungan tuntutan).

Syarat-syarat mengajukan tussenkomst adalah :Merupakan tuntutan hak. Adanya kepentingan hukum dalam sengketa yang sedang berlangsung. Kepentingan tersebut harus ada hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung.Kepentingan mana untuk mencegah kerugian atau mempertahankan hak puihak ketiga.
Keuntungan tussenkomst: Prosedur beracara dipermudah dan disederhanakan.
Proses berperkara dipersingkat.Terjadi penggabungan tuntutan.Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan. Mengenai prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan melawan pihak yang sedang bersengketa (Penggugat dan tergugat) dengan menunjuk nomor dan tanggal perkara yang dilawan tersebut. Suarat gugatan disusun seperti gugatan biasa dengan memuat identitas, posita dan potitum. Surat gugatan tersebut diserahkan ke meja I yang selanjutnya diproses seperti gugatan biasa , dengan membayar biaya tambahan panjar perkara tetapi tidak diberi nomor perkara baru melainkan memakai nomor perkara yang dilawan tersebut dan dicatat dalam regester, nomor dan kolom yang sama. Yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama adalah mendisposisikan kepada majlis hakim yang menangani perkara itu. Kemudian ketua majlis mempelajari gugatan intervensi tersebut dan membuat “penetapan” yang isinya memerintahkan kepada juru sita agar pihak ketiga tersebut dipanggil dalam sidang yang


6
akan dating untuk pemeriksaan gugatan intervensi tersebut bersama pihak lawan. Terhadap intervensi tersebut hakim akan menjatuhkan putusan “sela” untuk mengabulkan atau menolak intervensi tersebut. Apabila dikabulkan maka intervenient ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.

- Voeging (menengahi).
Yang disebut dengan voeging yaitu suatu aksi hukum oleh pihak yang berkepentingandengan jalan memasuki perkara perdata yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat untuk bersama-sama tergugat untuk menghadapi penggugat. Perbedaannya dengan tussenkomst adalah keberpihakannya ditujukan langsung kepada pihak tergugat. Ciri-ciri voeging:Sebagai pihak yang berkepentingan dan berpihak kepada salah satu pihak dari penggugat atau tergugat.
Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya sendiri dengan jalan membela salah satu yang bersengketa. Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara.

Syarat-syarat untuk mengajukan voeging adalah :
1. Merupakan tuntutan hak
2. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya dengan jalan berpihak kepada tergugat.
3. Kepentingan tersebut haruslah ada hubungannya dengan pokok perkara yang sedang berlangsung.Keuntungan voeging adalah : Prosedur beracara dipermudah dan disederhanakan.Proses berperkara dipersingkat. terjadinya penggabunga tuntutanMencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan.
Prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan mencampuri yang sedang bersengketa, yaitu penggugat dan tergugat untuk bersama-sama salah satu pihak menghadapi pihak lain guna kepentingan hukumnya. Permohonan dibuat seperti gugatan biasa dengan menunjuk nomor dan tanggal perkara yang akan diikutinya itu.
Permohonan voeging dimasukkan pada meja pertama dan diproses oleh kasir dan meja II sampai pada ketua, kemudian ketua Pengadilan Agama menyerahkan berkas tuntutan itu lewat panitera kepada majlis hakim yang menangani perkara itu, kemudian majlis hakim memberikan penetapan , dengan isi penetapan menolak atau menerima pihak ketiga untuk turut campur dalam sengketa tersebut, apabila dikabulkan maka permohonan ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.




7
A. Vrijwaring (penarikan)
Vrijwaring atau penarikan pihak ketiga dalam perkara adalah suatu aksi hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam perkara guna menjamin kepentingan tergugat menghadapi gugatan penggugat. Adapun cirri-ciri Vrijwaring adalah :255Merupakan penggabungan tuntutan. Salah satu pihak yang bersengketa menarik pihak ketiga didalam sengketa. Keikut sertaan pihak ketiga timbul karena dipaksa dan bukan karena kehendaknya. Tujuan salah satu pihak (tergugat) menarik pihak ketiga adalah agar pihak ketiga yang ditarik dalam sengketa yang sedang berlangsung akan membebaskan pihak yang memanggilnya (tergugat) dari kemungkinan akibat putusan tentang pokok perkara. Prosedur Vrijwaring tergugat dalam jawabannya atau dupliknya memohon kepada majlis hakim yang memeriksa perkaranya agar pihak ketiga yang dimaksudkan oleh tergugat sebagai penjamin ditarik masuk kedalam proses perkara untuk menjamin tergugat.Majlis hakim dengan penetapan yang dimuat dalam berita acara persidangan memerintahkan memanggil pihak ketiga tersebut dalam persidangan yang akan datanguntuk pemeriksaan vrijwaring bersama-sama penggugat dan tergugat . Dari hasil pemeriksaan itu hakim menjatuhkan “putusan sela” untuk menolak atau mengabulkan permohonan vrijwaring tersebut. Apabila dikabulkan maka pihak pihak ketiga ditarik masuk dalam proses perkara tersebut.
C. Komulasi Gugatan. Komulasi gugatan tidak diatur dalam HIR atau BW, bahwa yang disebut dengan gugatan adalah diajukan oleh seorang, karena ia merasa haknya dilanggar. Jadi dalam hal ini ada kepentingan dari yang bersangkutan sehubungan dengan pe3ngajuan gugatan tersebut, yaitu adanya suatu fakta hukum yang menjadi dasar gugatan. Komulasi yang tidak ada hubungannya sama sekali adalah tidak benar.
Pada umumnya gugatan harus berdiri sendiri , penggabungan gugatan yang diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila pihak penggugat atau pihak tergugat adalah mereka yang secara nyata telah bersengketa yang diajukan dimuka persidangan dan dalam penggabungan gugatan itu memang sudah diatur dalam undang-undang, sebagai contoh gugatan perceraian, didalamnya terdapat masalah lain yang melekat pada gugatan perceraian tersebut, seperti pembagian harta bersama, nafkah anak, nafkah istri dan penguasaan anak.
Contoh lain dalam hal gugatan hak waris, apabila suatu warisan diperebutkan oleh beberapa ahli waris, maka hal tersebut adalah diperbolehkan karena yang menjadi persengketaan pada hakekatnya adalah satu persoalan tentang kewarisan, bahkan hal ini sudah menjadi yurisprodensi Mahkamah Agung, bahwa dalam hal gugatan mengenai warisan, penggugat harus menggugat semua ahli waris sebagai pihak dalam perkara waris tersebut.

8
Permohonan penggabungan gugatan itu apabila diajukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugatan kedua atau gugatan yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat, maka hal itu harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama, apabila permohonan dikabulkan , maka perkara yang baru itu akan diserahkan kepada majlis hakim yang memeriksa perkara yang pertama untuk digabungkan, penggabungan dan komulasi gugatan diatur dalam pasal 134 dan 135 RV. Dalam bahasa Belanda disebut dengan voeging van zaken, untuk menggabungkan perkara tersebut dijatuhkan dengan putusan sela yang disebut dengan putusan insidentil. Komulasi gugatan kemungkinan terjadi dalam 3 (tiga) bentuk yakni :

1. Objective comulatie (Penggabungan obyektif). Pengertian obyective comulatie (penggabungan obyektif) adalah apabila pihak penggugat mengajukan beberapa obyek gugatan dalam satu perkara sekaligus. Meskipun penggabungan obyektif gugatan secara khusus tidak ditemukan dalam Undang-undang, namun penggabungan obyektif seperti ini diperbolehkan dalam praktik acara peradilan Agama selama permasalahannya terkait erat dengan perkara pokoknya, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan proses berperkara dan tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip keadilan.
Beberapa hal tidak diperbolehkan dalam komulasi obyektif yaitu : Penggabungan antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus seperti perceraian digabung dengan perkara perdata biasa (misalkan mengenai pelaksanaan perjanjian)
Penggabungan anatara dua atau lebih tuntutan yang salah satu diantaranya pengadilan tidak berwenang secara absolut untuk memeriksanya. Penggabaungan antara tuntutan mengenai bezit dengan tuntutan mengenai eigendom. Komulasi obyektif dalam praktik di Pengadilan Agama kemungkinan terjadi dalam perkara perceraian yang digabungkan dengan tuntutan nafkah madhiyah, nafkah anak, pemeliharaan anak , dan nafkah iddah, Hal ini dimungkinkan karena masih terkait dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama.

2. Subyective Comulatie (penggabungan subyektif).
Bentuk penggabungan subyektif bias terjadi apabila penggugat lebih dari satu orang melawantergugat yang lebih dari satu orang juga, Hal ini diperbolehkan menurut hukumacara perdata, dengan catatan tuntutan penggugat tersebut harus ada hubungan erat satu sama lain.




9
3. Concursus (kebersamaan) Komulasi kebersamaan yang dimaksud adalah apabila seseorang penggugat mempunyai beberapa tuntutan yang meneju pada suatu akibat hukum saja. Dimana apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan yang lain dengan sendirinya terpenuhi juga.
Contoh permonan pemohon dalam hal terlaksanya pernikahan yang terhambat karena masalah wali adhal, dispensasi nikah, dan ijin kawin. Ketiga hal tersebut hamper serupa dalam persoalannya dan memiliki tujuan yang sama pula yakni terlaksanya pernikahan, maka ketiga hal tersebitdapat digabung menjadi satu, sehingga apabila ijin kawin dikabulkan maka dengan sendirinya kedua hal yang lain tersebut mengikutinya.

2.3 masalah kedua tentang masalah permohonan cerai talak dengan rekonvensi dan penyelesaiannya

Perkara Permohonan Cerai talak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 72 UU N0. 7 Tahun 1989 yang direvisi menjadi U U No 3 Tahun 2006 “ Cerai Talak adalah Permohonan Cerai yang diajukan oleh Suami terhadap Isterinya di wilayah Pengadilan Agama dimana Isterinya menetap dan bertempat tinggal, dan setelah perkara diperiksa dan tidak bisa di damaikan maka apabila perkara cukup alasan untuk cerai maka di putus dengan mengabulkan permohonan tersebut ( penetapan penyaksian ikrar talak ) , setelah putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap , Pengadilan menentukan hari sidang penetapan penyaksian ikrar talak dengan memanggil Para Pihak untuk hadir di persidangan , dan jika Isteri tidak hadir tanpa alasan yang sah maka Suami dapat mengucapkan Ikrar Talak. Namun jika Suami tidak hadir dan tidak mengirimkan wakil nya dalam jangka waktu 6 ( enam ) bulan maka gugurlah kekuatan Penetapan Ikrar Talak dimaksud.

Pada dasarnya Pengadilan ( dalam hal ini Pengadilan Agama ) bertugas menerima memutus dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya Pasal 63 (1) UU No. 1 Tahun 1974, sesuai dengan kewenangan nya seperti yang tercantum dalam Pasal 49 ( 1 ) UU No 7 Tahun 1989 yang direvisi menjadi UU No 3 Tahun 2006 , termasuk didalam nya adalah perkara Cerai Talak atau lazim disebut permohonan Izin Talak ( dalam praktek ) yang termaktub dalam Pasal 66 UU no 7 Tahun 1989 , Yaitu perceraian yang diajukan oleh Pemohon dalam hal ini adalah Suami sebagai Pemohon sedangkan Isteri sebagai Termohon, namun kemudian berkembang setelah permohonan / gugatan tersebut diajukan oleh Pemohon dan dijawab oleh Termohon dengan mengajukan gugat balasan / balik ( rekonpensi ) tentang nafkah, asuhan anak,


10
harta gono gini / harta bersama disertai permohonan sita jaminan (conservatoir beslag ) dan seterus nya misalnya, sebagai maksud dan perkembangan dari Pasal 86 UU No. 7 Tahun1989 sebagaimana yang ditulis oleh M.Yahya Harahap, S H, dalam buku nya” Kedudukan kewenangan dan acara Peradilan Agama “
memuat semacam :
- mempunyai “ jalinan hubungan yang erat “ atauinnerlijkesamenhangen antara gugat konpensi dengan rekonpensi.- sekaligus dapat menyelesaikan seluruh sengketa yang timbul dari akibat gugat cerai talak apabila permohonan cerai talak dikabulkan .
- mempersingkat pemeriksaan perkara, karena dalam satu proses yang sama dapat dislesaikan seluruh sengketa .
- juga memperingan biaya perkara sebab dengan gugat rekonpensi isteri tidak di beban imembayar biaya perkara .
- serta sekaligus menghemat waktu sebab gugat harta bersama tidak perlu lagi diajukan nanti setelah penetapan cerai talak berkekuatan hokum tetap.

Maka perkara permohonan cerai talak berrupa konpensi dan gono gini menjadi rekonpensi nya akan diperiksa sesuai dengan tahapan yang ada , setelah pembacaan surat gugatan kemudian jawaban ( yang didalamnya ada permintaan Sita Jaminan yang diajukan oleh Tergugat ( Penggugat Rekonpensi ) dengan mengabulkan, sita tersebut dilanjutkan dengan replik, duplik, serta bukti bukti dari Para Pihak maka barulah di bacakan lah putusan dengan menagabulkan cerai talak ( ijin talak ) dan sekaligus mengabulkan gugatan gono gininya misalnya , kemudian pihak Pemohon mengajukan Banding ,dan setelah diputus ia mengajukan Kasasi misalnya , namun ternayata setelah putusan Kasasi diberitahukan pada Para pihak dan punya kekuatan hukum tetap ( ingkracht ), dipanggillah Para Pihak untuk mengucapkan IKRAR TALAK dan ternyata Pemohon tidak memenuhi panggilan tersebut ( tidak hadir dalam persidangan tanpa alas an yang sah dan tidak mewakilkan ), maka sia sia lah pemeriksaan perkara yang cukup lama bahkan bertahun tahun, , cukup melelahkan dengan menghabiskan biaya yang banyak tersebut. Dan hal yang demikian ini pernah terjadi / sering dialami pada Pengadilan Agama yang menerima / menyelesaikan perkara carai talak dengan Rekonpensi seperti tersebut diatas.
Maka timbul pertanyaan apakah demikian itu akhir dari putusan Pengadilan Agama yang saat ini menjadi Pengadilan yang baik, sempurna dan putusan nya dapat dlaksanakan dengan baik pula ( setelah berkekuatan hukum tetap ) , tentu jawaban nya “ tidak demikian itu “ agar supaya Pengadilan Agama tidak dikatakan sebagai Pengadilan Quasi ( Semu) seperti sebelum di undangkan nya uu no 7 / 1989.

Bahwa berdasarkan itu maka Penyaji Makalah mengemukakan tentang beberapa penyelesaian / solusi permasalahan ini :
11
1. Pertama Pengadilan menyarankan pada Pihak Termohon agar tidak mengajukan gugatan Rekonvensi karena sangat beresiko jika Pemohon tidak bersedia mengucapkan Ikrar Talak ( sebagaimana kasus tersebut diatas )

2. Kedua Pengadilan mengabulkan gugatan / Permohonan Konpensinya / Cerai Talak dan menyatakan tidak dapat menerima ( N O ) terhadap gugatan balik / Rekonpensi Termohon ( Rekonpensi tersebut ) misalnya , yang tentunya harus beralasan berdasar bahwa gugatan balik tidak beralasan hak.
3. Ketiga Pengadilan ( Majlis Hakim ) memutus , mengadili perkara Konpensi lebih dahulu , kemudian baru memutus perkara Rekonpensi nya ( tentunya putusan tersebut oleh Majlis Hakim yang sama dan Nomor perkara yang sama pula .

Bahwa dalam solusi yang pertama mungkin dapat dilakukan dengan Penasehatan – Penasehatan dan anjuran pada Termohon untuk mengurungkan gugatan Rekonpensinya ( bila hendak mengajukan ) atau mencabut gugat Rekonpensi nya ( bila mana sudah terlanjur mengajukan ) kemudian ia di sarankan mengajukan gugat tersendiri tentang Gono Gini tersebut misalnya dengan Nomor dan biaya tersendiri pula , namun hal tersebut kuncinya adalah terserah Pihak Termohon , bila ia bersedia mengurungkan atau mencabut gugatan balik nya tersebut , namun tidak menutup kemungkinan ia enggan mengurungkan atau mencabut nya sehingga perkara tetap berjalan antara Konpensi dan Rekonpensi tersebut , sebab saran tersebut tidak mengikat dan pada azas nya Pengadilan tidak bolrh menolak perkara dengan alas an tidak ada hukum nya ( Pasal 56 U U No 7 Tahun 1989 ).
Bahwa dalam solusi yang kedua Pengadilan memutus dengan mengabulkan gugatan/ permohonan Konpensi dan menyatakan tidak dapat menerima gugatan rekonpensi nya , yang tentunya bila majlis menilai dalam gugatan tersebut tidak beralasan hak ( tidak bisa direkayasa ) , namun tetap saja bila Para Pihak khusus nya Termohon tidak bisa menerimanya , ia akan mengajukan upaya hokum berupa banding , Kasasi itupun dengan catatan Amar Putusan Banding ataupun Kasasi belum pasti seperti Amar Putusan tingkat Pertama tersebut dan pada akhirnya dari iyu semua juga sama jika Pemohon tidak mengucapkan Ikrar Talak perkara cerai talak tersebut tetap sia sia.





12

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Untuk kasus Pengadilan Agama, mayoritas perkara cerai talak yang dihadiri oleh pemohon dan termohon di persidangan disertasi dengan tuntutan balik oleh termohon sebagai penggugat rekonvensi. Tuntutan balik itu pada umumnya meliputi perkara nafkah lampau (madhiyah), nafkah iddah, mut’ah, hadhanah dan nafkah anak, sebagian di antaranya harta bersama.
Dalam praktek pemeriksaan perkara gugatan rekonvensi secara umum selama ini tidak lagi ditempuh upaya perdamaian oleh majelis, hanya dalam beberapa kasus ditemukan adanya perdamaian khsusus untuk rekonvensi atas inisitif para pihak berperkara. Namun dalam kenyataan praktek di persidangan, khususnya pemeriksaan tuntutan balik tidak didahului oleh upaya perdamaian, melainkan langsung kepada tanggapan tergugat rekonvensi yang bersamaan dengan replik dalam konvensi. Dengan demikian terhadap tuntutan rekonvensi langsung ke proses jawab menjawab. Apabila terjadi kesepakatan dalam tahap jawab menjawab tersebut, maka majelis hakim akan memutuskan berdasarkan kesepakatan, sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka majelis hakim akan memutus perkara tersebut berdasarkan alat bukti dan pertimbangan sendiri.
Dalam realita yang ditemukan di lapangan, putusan majelis hakim dalam rekonvensi yang tidak didasari oleh kesepakatan para pihak cenderung menjadi pemicu ketidakpuasan para pihak berperkara sehingga mendorong mereka untuk banding dan kasasi. Untuk itu perlu ditindaklanjuti penggunaan instrument mediasi untuk menyelesaikan gugatan rekonvensi agar rasa keadilan lebih dapat diwujudkan untuk kedua belah pihak.

3.2 SARAN
-Hendaknya Pengadilan menyarankan pada Pihak Termohon agar tidak mengajukan gugatan Rekonvensi karena sangat beresiko jika Pemohon tidak bersedia mengucapkan Ikrar Talak
-hendaknya Pengadilan ( Majlis Hakim ) dalam memutus , mengadili perkara Konpensi lebih dahulu , kemudian baru memutus perkara Rekonpensi nya.

13


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada tuhan yang maha pengasih tak pilih kasih,maha penyayang tak pandang sayang karena atas berkat izinnya sehingga proses penyusunan makalah ini bisa selesai.makalah yang berjudul “gugatan rekonvensi” ini kami harapkan bisa berguna bagi semua manusia utamanya orang-orang yang berkecimpung didunia hukum.
Adapun yang mendorong dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini karena dilatarbelakangi oleh suatu tugas pada mata kuliah Hukum Acara peradilan agama Program Reguler Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar yang di harapkan tercapainya Sumber Daya Manusia (SDM) yag berkualitas.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, walaupun penulis telah mengupayakan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang penulis miliki.
Lebih jauh dari itu, penulis sangat mengharapkan kritik ataupun saran-saran dari bapak/ibu dosen maupun rekan-rekan guna kesempurnaan makalah ini. Sehingga pada masa yang akan datang menjadi petunjuk serta penuntun bagi penulis bila dihadapkan pada tugas-tugas lain yang akan datang.
Demikian kata pengantar dari kami, semoga bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan terlebih-lebih bagi penulis sendiri di masa yang akan datang.

Makassar, 17 November 2009

Penulis




i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………...1
1.1Latar belakang……………………………………………………………………..........1
1.2Rumusan masalah………………………………………………………………….......1
1.3Tujuan dan kegunaan penulisan……………………………………………………....1
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………...2
2.1 Pengertian dan dasar hukum penulisan……………………………………………..2
2.2 masalah pertama……………………………………………………………………….3
2.3 masalah kedua………………………………………………………………………10
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………13
3.1 KESIMPULAN………………………………………………………………………..13
3.2 SARAN………………………………………………………………………………..13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………14








ii

DAFTAR PUSTAKA
Abdul manan,Dr.,SH.,SIP.,M.Hum. penerapan hukum acara perdata di lingkungan perdilan agama,penerbit kencana,Jakarta,2006
Roihan A. Rasyid,Dr.,SH.,M.A.,hukum acara peradilan agama,rajawali pers,Jakarta,2007
Arsip dari google

MAKALAH PERJANJIAN INTERNASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komis Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hokum internasional positif.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Bila lahirnya suatu perjanjian didasarkan atas persetujuan bersama Negara pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut juga harus didasarkan pada persetujuan bersama. Mengenai berakhirnya suatu perjanjian telah diatur dalam Konvensi Wina dalam Pasal 55 sampai 72. Dalam hukum nasional pun telah ada undang-undang yang mengatur mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional yaitu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang dapat membuat berakhirnya suatu perjanjian, prosedur pengakhiran perjanjian, dan akibat hukum dari berakhirnya perjanjian telah diatur dalam Konvensi tersebut. Sehingga dalam praktenyanya nanti jika terjadi pengakhiran suatu perjanjian internasional diharapkan sudah tidak menjadi kendala lagi.




B. Rumusan Masalah
Adapun pokok pembahasan yang akan dibahas pada makalah ini adalah
1. Faktor-faktor yang dapat mengakhiri perjanjian internasional
2. Prosedur untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional
3. Akibat hukum dari berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mahasiswa fakultas hukum Unhas mengenai Berakhirnya Suatu Perjanjian Internasional dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.























BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Yang Dapat Mengakhiri Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasinal dalam Bab VI Pasal 18 mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional
Perjanjian internasional berakhir apabila :
a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. Objek perjanjian hilang;
h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Sedangkan menurut Konvensi Wina 1969, alasan – alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional adalah
Berakhirnya perjanjian dibagi atas 3 kelompok
1. Berakhirnya perjanjian atas persetujuan negera-negara pihak
a. Berakhirnya perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri perjanjian yang berakhir dengan cara ini dijelaskan dalam pasal 54 a Konvensi Wina tentang hukum perjanjian yang berbunyi:
berakhirnya suatu perjanjian atau penarikan diri dari suatu Negara dapat terjadi sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
Penyelesaian terbaik adalah bila perjanjian itu sendiri berisi ketentuan-ketentua mengenai kapan dan bagaimana cara-cara berakhirnya perjanjian tersebut. Bila ketentuan ini dilaksanakan, tidak mungkin lagi terjadi kesalahan menganai interpretasinya.
Berakhirnya masa perjanjian biasanya terjadi antara 1-99 tahun. Praktek ini menurut kebiasaan terdapat dalam perjanjian aliansi, arbitrasi wajib, penyewaan bagian-bagian tertentu wilayah Negara, dan lain-lain. Dapat juga disebut bila perjanjian itu telah sampai waktunya dapat diperbaharui secara diam-diam untuk selama waktu yang dipakai untuk perjanjian pertama.
b. Klausula Pembubaran Diri
Yang dimaksud dengan klausula ini ialah perjanjian dapat berakhir dengan dibuatnya perjanjian lain yang dianggap lebih penting. Misalnya Pakta Warsawa, yang didirikan tahun 1955, sebagai jawaban atas NATO yang lahir 1949, berisikan klausula bahwa Pakta tersebut akan bubar bila telah didirikan suatu sistem keamanan kolektif. Namun tanpa adanya sistem kolektif dimaksud, pakta warsawa kenyataannya membubarkan diri, sedangkan NATO tidak bubar bahkan telah memperluas keanggotan.
c. Penarikan Diri.
Suatu Negara dapat mengakhiri keikutsertaannya dalam suatu perjanjian melalui penarikan diri ini terutama dipakai dalam perjanjian-perjanjian multilateral. Penarikan diri adalah hasil dari perbuatan sepihak (unilateral) Negara pihak. Penarikan diri ini bukan merupakan pemutusan persetujuan sekehendaknya, tetapi perjanjian tersebut memang memuat syarat-syarat tertentu setelah jangka waktu tertentu. Misalnya sesuai pasal 13 Pakta NATO, penarikan diri hanya mungkin setelah 20 tahun dan dengan memberitahukan setahun sebelumnya. Penarikan diri semacam ini dinamakan penarikan diri diatur. Itu yang terjadi dengan Perancis yang menarik diri dari Organisasi Militer NATO pada tahun 1969 setelah 20 tahun berdirinya organisasi tersebut.
d. Pengurangan pihak-pihak dari perjanjian multilateral dibawah jumlah yang ditentukan untuk keberlakuannya.
Pasal 55 Konvensi Wina
Kecuali jika perjanjian itu sendiri menyatakan, suatu perjanjian multilateral tidak berakhir dengan alasan hanya dari kenyataan bahwa jumlah pihak berada di bawah jumlah yang diperlukan untuk memberlakukan perjanjian itu.


2. Berakhirnya perjanjian Atas persetujuan kemudian.
Inilah yang dinamakan abrogasi perjanjian. Abrogasi ini dapat dilakukan dengan terang-terangan bila Negara pihak membuat perjanjian baru dengan tujuan untuk mengakhiri perjanjian lama. Abrogasi diam-diam dapat juga dilakukan dengan membuat perjanjian baru mengenai hal yang sama tetapi berisi ketentuan yang berbeda dengan yang lama. Berbeda dengan modifikasi, abrogasi menghendaki persetujuan semua Negara pihak.
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan) disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta pada perjanjian yang lama, kemudian membuat perjanjian baru, dan memang para pihak bermaksud untuk menggantikan perjanjian yang lama (meskipun pada perjanjian yang baru tidak secara tegas mengakhiri eksistensi perjanjian yang lama- dan memang hal ini tidak lazim dalam hukum perjanjian internasional )dan juga karena substansi dari kedua perjanjian tersebut sangat berbeda satu sama lain bahkan bertentangan sehingga tidak mungkin untuk menerapkannya secara bersamaan. Maka dari itu salah satu dari perjanjian tersebut, (dalam hal ini perjanjian yang lama) harus diakhiri eksistensinya, dan yang harus diberlakukan adalah perjanjian yang baru.
3. Berakhirnya perjanjian akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu
Tentu saja terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu ini sama sekali tidak termasuk dalam perjanjian yang dibuat. Peristiwa-peristiwa tersebut harus yang menjadi sebab berakhirnya suatu perjanjian. Hal ini menjadi kontroversi antara pengikiut-pengikut dan penentang berakhirnya perjanjian secara demikian. Empat sebab pembatalan berlakunya perjanjian :
a. Tidak dilaksanakannya perjanjian
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan bagi pihak lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian tersebut, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua pihak. Pengakhiran semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak diberikan pilihan, apakah sepakat untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran.
Keadaan ini terutama berasal dari pelanggaran ketentuan perjanjian oleh suatu Negara pihak. Pelanggaran baru dianggap serius bila pelanggaran tersebut menyinggung hal-hal yang substansial. Hal ini perlu ditegaskan karena sering terjadi negara-negara menjadikan pelanggaran kecil sebagai alasan untuk membatalkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap perjanjian. Presiden Coolidge sebagai juri dalam penyelesaian sengketa antara Peru dan Chili menolak tuduhan Peru terhadap Chili yang dianggap telah melanggar disposisi-disposisi perjanjian.
Juri menyatakan:
Memang penyalahgunaan administratif dapat mengakhiri berlakunya suatu perjanjian, tetapi harus dibuktikan, bahwa penyalahgunaan tersebut betul-betul telah menimbulkan suatu keadaan yang benar-benar buruk, sehingga menghalangi pelaksanaan perjanjian dan menurut pendapat kami keadaan yang demikian tidak dapat dibuktikan.
Jadi jelaslah bawa pelanggaran tersebut harus bersifat serius dan dibuktikan sebelumnya, sehingga dapat mengakhiri beralkunya suatu persetujuan. Presiden Jurisprudensi tidak banyak dalam hal ini, namun keputusan Presiden Coolidge cukup tegas dan dapat diterima.. berdasarkan pertimbangan-pertimbangan disebut diatas, Pasal 60 Konvensi Wina menetapkan ketentuan sebagai berikut:
- dalam suatu perjanjian bilateral, suatu negara dapat menjadikan suatu pelanggaran substansial yang dilakukan oleh negara lain sebagai motif untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian baik secara definitif maupun secara sementara. Pelanggaran ini tidak ipso facto mengakhiri suatu perjanjian tetapi hanya baru membuka kesempatan untuk memakai prosedur mengakhiri suatu perjanjian yang diatur oleh pasal 65 Konvensi Wina.
- Dalam perjanjian multilateral, bila terjadi suatu pelanggaran oleh suatu pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut hanya dapat terjadi melalui suatu perundingan antara negara-negara pihak dan atas persetujuan semua negara pihak. Jadi perjanjian akan tetap berlaku, sementara prosedur yang demikian belum dilaksanakan. Dengan menerima cara tersebut Konvensi Wina hanya mengikuti praktek.
- Demikianlah Peradilan Militer Nurenberg 1946 memutuskan bahwa pelanggaran perjanjian Briand-Kellog oleh jerman tidak mengakhiri berlakunya perjanjian tersebut. Walaupun terjadi pelanggaran terhadap kenetralitasan Belgia oleh Jerman tahun 1941, perjanjian 1839 yang mendirikan kenetralitasan tersebut tetap berlaku sampai 1919 dan baru dalam Perjanjian Versailles dan atas persetujuan Belgia pula maka kenetralitasan itu berakhir. Disamping itu Konvensi Wina menambahkan bahwa suatu negara yang terkena pelanggaran dapat menjadikannya sebagai alasan untuk menghentikan semnetara pelaksanaan suatu perjanjian dalam hubungannya dengan negara yang melakukan pelanggaran.
b. Ketidakmungkinan untuk melaksanakan
Pasal 61 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian menyatakan bahwa suatu negara dapat mengakhiri suatu perjanjian bila terjadi keadaan force majure dan menghentikan sementara berlakunya perjanjian tersebut bila force majure itu bersifat sementara pula. Misalnya tenggelamnya suatu pulau, keringnya suatu sungai, pecahnya bendungan, dan lain-lain. Karena terjadinya salah satu hal tersebut di atas maka perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Tetapi dalam praktek hal-hal seperti ini jarang terjadi. Hilangnya personalitas internasional suatu negara, juga dapat mengakhiri berlakunya suatu perjanjian.
c. Perubahan keadaan secara mendasar
Doktrin dan praktek menerima secara bulat, bahwa perubahan fundamental dari keadaan dapat mengakhiri suatu perjanjian. Hanya dasar dari berakhirnya perjanjian tersebut berbeda-beda. Kadang-kadang ada suatu kalusula diam-diam dalam perjnjian yang dapat diartikan bahwa perjanjian hanya akan tetap mengikat bila keadaan tetap seperti biasa. Klausula diam-diam ini dinamakan clause rebus sic stantibus. Mengenai hal ini pasal 62 Konvensi Wina menyatakan:
Suatu negara boleh mempergunakan perubahan keadaan sebagai alasan untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian bila dapat dibuktikan bahwa keadaan benar-benar sudah berubah dan para negara pihak pada perjanjian sama-sama setuju dan juga perubahan tersebut betul-betul akan merubah secara radikal kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian tersebut.
Apa yang dimaksud dengan perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of circumstances), sama sekali tidak ada penegasannya dalam Konvensi. Tidak adanya penegasan ini dapat diartikan bahwa penentuannya diserahkan pada praktek negara-negara ataupun pada putusan badan penyelesaian sengketa jika menghadapi kasus yang berkaitan dengan ada atau tidaknya perubahan keadaan yang fundamental. Dengan kata lain, penentuannya harus ditentukan secara kasus per kasus.
Pasal 62 ayat 1 Konvensi membatasi perubahan keadaan yang fundamental ini dengan dua pembatasan yang harus dipenuhi. Pertama, pembatasan berdasarkan waktu terjadinya, yaitu terjadinya haruslah pada waktu proses pembuatan perjanjian, tegasnya pada waktu perundingan untuk memutuskan naskah perjanjian. Jadi buka perubahan keadaan yang terjadi setelah berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian tersebut. Jika terjadinya setelah berlaku atau setelah dilaksanakannya perjanjian, maka hal itu termasuk ke dalam alasan berakhir eksistensi perjanjian internasional disebabkan ketidakmungkinan untuk melaksanakannya. Pembatasan yang kedua, adalah pembatasan yang bersifat subjektif, yakni perubahan keadaan itu tidak dapat diduga atau dipredikasi sebelumnya oleh para pihak.
Namun, meskipun kedua syarat tersebut telah terpenuhi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 61 ayat 1, masih ada beberapa kualifikasi yang lebih spesifik yang harus dipenuhi, yaitu :
(a) adanya keadaan tersebut merupakan dasar yang esensial bagi para pihak untuk terikat pada perjanjian ;
(b) akibat atau efek dari perubahan keadaan itu menimbulkan perubahan yang secara radikal terhadap luasnya kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan perjanjian tersebut.
Yang dimaksudkan keadaan tersebut (the existence of circumstances) adalah keadaan sebelum terjadinya perubahan keadaan yang fundamental itu sendiri. Adanya keadaan inilah yang merupakan dasar yang esensial bagi para pihak untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dengan terjadinya atau berubahnya keadaan itu secara fundamental (keadaan sebelumnya sangat berdeda secara prinsip dengan keadaan yang terjadi sesuudahnya), maka hal ini berarti, bahwa dasar yang esensial bagi negara-negara itu terikat perjanjian sudah mengalami perubahan. Di samping itu, perubahan keadaan sebagaimana ditentukan dalam pasala 61 ayat 1 butir a tersebut, menimbulkan efek atau pengaruh secara radikal terhadap luasnya kewajiban yang harus dilakukan yang bersumber dari perjanjian itu.
Selanjutnya dalam pasal 61 ayat 2, ada dua larangan untuk menggunakan perubahan keadaan yang fundamental ini sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional. Pertama, negara peserta tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian tentang garis batasa wilayah negara. Kedua, klausul ini juga tidak dapat dijadikansebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional, jika perubahan keadaan yang fundamental ini terjadi sebagi akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang bersangkutan atas ketentuan perjanjian internasional tersebut.
d. Timbulnya norma imperatif hukum internasional
Pasal 64 Konvensi Wina menyatakan
Bila timbul norma baru imperatif hukum internasional umum, maka perjanjian-perjanjian yang telah ada dan betentangan dengan norma-norma tersebut menjadi batal dan berakhir.
e. Perang
Konvensi Wina tidak mengatur akibat perang terhadap perjanjian. Dalam kaitan ini, komisi Hukum Internasional meninjau persolan ini sebab konfrensi tentang Hukum Perjanjian akan terpakasa mempelajari pula soal-soal penggunaan kekerasan yang tentunya akan memperluas pula studi mengenai hukum perjanjian.
Namun demikian hukum kebiasaan telah menetapkan ketentuan sebagai berikut:
- Perjanjian bilateral akan berakhir bila kedua negara berperang.
- Dalam perjanjian multilateral pelaksanaan pejanjian hanya dihentikan diantara negara-negara yang berperang.
- Perjanjian bilateral dan multilateral yang khusus dibuat untuk dilaksanakan di waktu perang tentu saja akan berlaku.
f. Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler
Pasal 63 Konnvensi Wina
Putusnya hubungan diplomatik atau konsuler di antara para pihak perjanjian tidak berpengaruh pada hubungan hukum yang di buat dengan perjanjian di atara mereka, kecuali jika adanya hubungan diplomatik atau konsuler tersebut sangat diperlukan untuk penerapan perjanjian.

B. Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional
Suatu perjanjian internasional yang hendak diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu atau beberapa pihak, menurut pasal 65 ayat 1, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan keinginannya itu kepada negara-negara peserta yang lainnya. Pengajuan usulnya itu haruslah dilakukan secara tertulis (pasal 67 ayat 1) disertai dengan alasan-alasannya dan langkah-langkah yang seyogyanya ditempuh untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut. Selanjutnya menurut pasal 65 ayat 2, jika dalam rentang waktu tiga bulan terhitung dari saat diterimanya usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut (kecuali dalam keadaan yang sangat khusus), ternyata tidak ada satu pihakpun yang menyatakan penolakan atau keberatannya, maka pihak yang mengajukan usulan itu dapat mengambil langkah-langkah seperti ditentukan dalam pasal 67 yakni menyampaikan pernyataan bahwa perjanjian itu berakhir eksistensinya kepada negara-negara peserta lainnya. Pemberitahuan atau pernyataan itu harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan oleh pejabat lain selain dari ketiga itu, maka harus disertai dengan suarat kuasa atau kuasa penuh (full power). Jika tidak, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau negaara-negara yang lainnya.
Sementara jika ada negara-negara peserta yang menolak atau tidak menyetujui usulan untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain terjadi perbedaan pendapat bahkan dapat mengarah pada perselisihan (dispute) diantara negara-negara tersebut. Maka dalam hal ini, pasal 65 ayat 3 menyarankan para pihak menyelesaikannya melalui jalan damai sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 Piagam PBB. Jika para pihak bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan ini ke hadapan badan penyelesaian sengketa, seperti peradilan, arbitrase atau konsiliasi, setelah gagal menempuh upaya damai, maka pasal 66 Konvensi memberikan petunjuk yang dapat ditempuh oleh para pihak. Dalam tempo 12 bulan setelah keberatan itu diajukan, ternyata belum dicapai penyelesaiannya, salah satu dari pihak yang berselisih atau bersengketa tentang masalah penafsiran atau penerapan atas pasal 53 atau 64 (berkenaan dengan jus cogens), dengan suatu permohonan tertulis dapat menyerahkan perselisihan itu ke hadapan Mahkanah Internasional untuk diputuskan, kecuali para pihak berdasarkan persetujuan bersama sepakat untuk mengajukan perselisihan itu ke hadapan arbitrase (pasal 66 butir a).
Sedangkan pasal 66 butir b menegaskan tentang perselisihan yang timbul berkenaan dengan interpretasi ataupun pelaksanaan atas Bagian V Konvensi (berkenaan dengan ketidakabsahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya perjanjian) dapat menempuh prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana secara rinci diatur dalam Annex (dari Konvensi dengan cara mengajukan permohonan tentang penyelesaian tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB. Adapun penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Annex dari Konvensi ini adalah penyelesaian melalui mekanisme konsiliasi.
Meskipun demikian, Konvensi masih memberikan kesempatan kepada para pihak yang berubah pendirian, misalnya di tengah jalan ternyata mengurungkan niatnya untuk mengakhiri perjanjian. Dalam hal ini, pasal 68 Konvensi memberikan kesempatan kepada negara atau negara-negara tersebut untuk pada saetiap saat menarik kembali pemberitahuan ataupun instrument-instrumen yang berkenaan dengan pengakhiran perjanjian seperti ditegaskan dalam pasal 65 dan 67, sepanjang semua itu belum menimbulkan akibat-akibat hukum.

C. Akibat Hukum dari Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional
Tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasioan diatur di dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi.
1. Kecuali jika perjanjian itu menyebutkan atau para pihak menyetujuinya, maka berakhirnya suatu perjanjian yang ada atau menurut konvensi ini:
a) melepaskan para pihak dari suatu kewajiban dan selanjutnya untuk melaksanakan perjanjian tersebut.
b) tidak berpengaruh pada sesuatu hak, kewajiban, atau situasi hukum dari para pihak yang timbul melalui pelaksanaan perjanjian sebelum berakhir.
2. Jika suatu negara mengadukan atau menarik diri dari perjanjian multilateral, maka ayat (1) tersebut dapat diterapkan dalam hubungan antara negara tersebut dan masing-masing dari para pihak lainnya dari tanggal pada waktu pengaduan atau penarikan diri itu berlaku.

Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di dalam salah satu pasal atau ketentuannya ; jika pengaturan tidak ada, kemungkinan yang kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini.
Mengenai kemungkinan yang pertama, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat jarang ada- bahkan mungkin tidak ada – perjanjian internasional yang mengatur sampai sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama sekali tidak mengaturnya. Kemungkinan yang kedua, yaitu para pihak akan mengatur tersendiri (di luar perjanjian), hanya mungkin apabila pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancer, maka berakhirlah semua masalahnya.
Jika kemungkinan pertama dan kedua itu tidak ada, maka menurut ayat 1, jika pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional itu berdasarkan atas alasan-alasan seperti ditentukan dalam Konvensi, maka pengakhiran perjanjian itu akan : (a) membebaskan para pihak dari kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian tersebut; (b) tidak mengganggu hak, kewajiban ataupun situasi hukum (legal situation) dari para pihak yang lahir dari pelaksanaan perjanjian selama perjanjian itu masih berlaku atau sebelum berakhirnya eksistensi perjanjian tersebut.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dari segi bahasa maupun materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna memperbaiki makalah ini.
























DAFTAR PUSTAKA


Suryokusumo Sumaryo, S.H.LL.M.,Prof.Dr., 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta

http://nandanando.blogspot.com/2009/03/perjanjian-internasional.html

http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/Perjanjian.pdf