Pembuktian
adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan-kesalahan yang didakwakan.
Pembuktian ditinjau dari segi hukum acara
pidana, yaitu ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari
dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau
penasihat hukum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti
yang ditentukan dalam undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan
caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa
mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benaar di luar ketentuan yang telah
digariskan undang-undang. Bagi majelis hakim, harus benar-benar
mempertimbangkan kekuatan pembuktian
dalam pengambilan keputusan. Kalau tidak demikian, bias saja orang yang
jahat dilepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman.
Sehubungan dengan hal tersebut, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan
kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti
yang telah ditentukan undang-undang secara limitative, sebagaimana yang disebut
dalam pasal 184 KUHAP.
Disamping itu, ditinjau dari segi hukum
acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, telah diatur beberapa
pedoman dan penggarisan, antara lain, penuntut umum bertindak sebagi aparat
yang diberi wewenang untuk mengajukan segala upaya membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa, sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai
hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum sesuai dengan
cara-cara yang dibenarkan undang-undang, berupa sangkalan atau bantahan yang
beralasan dengan saksi yang meringankan, maupun dengan alibi. Pembuktian juga
bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus
dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut umum bersifat
alternative, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam
persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti.
Berarti apa yang didakwakan pada dakwakan primair tidak sesuai dengan kenyataan
pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian merupakan
penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus
membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasar
dakwaan tindak pidana yang telah terbukti.
Penerapan pembuktian perkara pidana yang
diatur dalam hukum acara pidana, pemeriksaan pembuktian selamanya tetap
diperlukan sekalipun terdakwa mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Seandainya terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum
dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat
bukti yang lain. Pengakuan bersalah (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak
melenyapkan kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan menyempunakan
pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat bukti keterangan
saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti petunjuk Hal
tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam pasal 189 ayat (4),
bahwa keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Berbicara mengenai system pembuktian
bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap
perkara yang sedang diperiksa. Adapun beberapa teori dalam system pembuktian,
antara lain Conviction-in Timer,
Conviction-Raisonee, Pembuktian menurut undang-undang secara positif, dan
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Conviction-in
Timer merupakan system pembuktian yang lebih mengutamakan dasar keyakinan
hakim. Keyakinan hakim yang menentukan apakah seseorang bias dinyatakan
bersalah atau tidak. Keyakinan hakim boleh diambil dan disimpulkan hakim dari
alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan, dan bias juga
diambil dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sisten ini pun dianggap tidak
relevan dalam hal pembuktian karena dinilai memiliki kelemahan.
Conviction-Raisonee
merupakan system pembuktian yang hampir sama dengan conviction-in timer. Hanya saja, jika pada system conviction-in timer keyakinan hakim
bersifat leluasa tanpa batas, maka pada system conviction-raisonee factor keyakinan hakim lebih di batasi dan
harus didukung dengan alas an-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraiakn dan
menjelaskan alas an-alasan yang menjadi dasar keyakinannya tersebut, apakah
seorang tersangka bersalah atau tidak. Keyakinan hakim harus mempunyai
dasar-dasar alas an yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak
semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alas an yang masuk
akal.
Pembuktian menurut undang-undang secara
positif. Sistem pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan conviction-in timer. Pada system ini
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata
digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asalkan sudah dipenuhi
syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup
menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim
yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.
Pembuktian menurut undang-undang secara
negative. Sistem ini menggabungkan antara conviction-in
timer dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Bahwa dalam
hal pembuktian, tidak akan cukup hanya dengan keyakinan hakim saja atau hanya
berdasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seseorang baru dapat dinyatakan
bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat di buktikan dengan
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus
keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim.
Sebagaimana yang telah diuraiakan diatas,
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitative alat bukti yang sah
menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukumnya, terikat dan terbtas hanya diperbolehkan mempergunakan
alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang
dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang
dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian
hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti
diluar jenis alat bukti yang disebut pada pasal 184 ayat (1), tidak mempunya
nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.
Adapun alat bukti yang sah menurut
undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam pasal 183 ayat (1), adalah :
·
Keterangan saksi;
·
Keterangan ahli;
·
Surat;
·
Petunjuk, dan;
·
Keterangan terdakwa.
Diatas tadi merupakan alat bukti yang
disebutkan dalam KUHAP berdasarkan pasal 184 ayat (1). Dalam hal untuk
penanganan kasus tindak pidana korupsi, selain dari alat bukti KUHAP seperti
yang dikemukakan dalam pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menyatakan
bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam
pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain di
luar KUHAP, yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu. Yang
dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam
mikro film, Compact Disk Read Only Memory
(CD-ROM), atau Write Once Read Many
(WORM). Dan alat optic yang dimaksud disini atau yang serupa dengan itu,
dalam hal ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (Electronic data intercharge), surat
elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili. Disamping itu, dokumen juga dianggap sebagai alat bukti
yang sah dalam tindak pidana korupsi. Dokumen itu dapat berupa rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dalam hal alat bukti petunjuk seperti yang
disebutkan dalam pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hanya dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hanya dari
ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat diolah. Dari ketiga sumber inilah
persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan.
Sama halnya dengan alat bukti yang digunakan
pada tindak pidana korupsi, pada tindak pida terorisme pun demikian. Hanya
dalam tindak pidana terorisme dalam hal dokumen tidak hanya terbatas pada
tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi
yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Dalam hal pengajuan alat bukti dianggap
telah cukup maka pihak penyidik dapat melakukan penyadapan terhadap alat
komunikasi terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana teroris. Dan
hal tersebut dapat diajukan sebagai alat bukti tambahan di pengadilan.
Untuk tindak pidana informasi dan transaksi
elektronik, alat bukti yang digunakan yaitu informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya, merupakan alat bukti hukum yang
sah. Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang terdapat dalam hukum
acara pidana Indonesia. Dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan system eletronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik.
Alat bukti yang diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tidak berlaku
untuk surat yang menurut undang-undang dibuat dalam bentuk tertulis dan surat
beserta dokumen yang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta.