Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Selasa, 27 Oktober 2015

Tugas Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Pembuktian Cyber Crime)



Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan-kesalahan yang didakwakan.
   Pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana, yaitu ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benaar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Bagi majelis hakim, harus benar-benar mempertimbangkan kekuatan pembuktian  dalam pengambilan keputusan. Kalau tidak demikian, bias saja orang yang jahat dilepas, dan orang yang tak bersalah mendapat ganjaran hukuman. Sehubungan dengan hal tersebut, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitative, sebagaimana yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.
   Disamping itu, ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan, antara lain, penuntut umum bertindak sebagi aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang, berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang meringankan, maupun dengan alibi. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut umum bersifat alternative, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwakan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasar dakwaan tindak pidana yang telah terbukti.
   Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana, pemeriksaan pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Seandainya terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Pengakuan bersalah (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan menyempunakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti petunjuk Hal tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam pasal 189 ayat (4), bahwa keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
   Berbicara mengenai system pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Adapun beberapa teori dalam system pembuktian, antara lain Conviction-in Timer, Conviction-Raisonee, Pembuktian menurut undang-undang secara positif, dan Pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
   Conviction-in Timer merupakan system pembuktian yang lebih mengutamakan dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan apakah seseorang bias dinyatakan bersalah atau tidak. Keyakinan hakim boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan, dan bias juga diambil dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sisten ini pun dianggap tidak relevan dalam hal pembuktian karena dinilai memiliki kelemahan.
   Conviction-Raisonee merupakan system pembuktian yang hampir sama dengan conviction-in timer. Hanya saja, jika pada system conviction-in timer keyakinan hakim bersifat leluasa tanpa batas, maka pada system conviction-raisonee factor keyakinan hakim lebih di batasi dan harus didukung dengan alas an-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraiakn dan menjelaskan alas an-alasan yang menjadi dasar keyakinannya tersebut, apakah seorang tersangka bersalah atau tidak. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alas an yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alas an yang masuk akal.
   Pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sistem pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan conviction-in timer. Pada system ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asalkan sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah.
   Pembuktian menurut undang-undang secara negative. Sistem ini menggabungkan antara conviction-in timer dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Bahwa dalam hal pembuktian, tidak akan cukup hanya dengan keyakinan hakim saja atau hanya berdasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seseorang baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat di buktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu dibarengi dengan keyakinan hakim.
   Sebagaimana yang telah diuraiakan diatas, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitative alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya, terikat dan terbtas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti yang disebut pada pasal 184 ayat (1), tidak mempunya nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.
   Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam pasal 183 ayat (1), adalah :
·         Keterangan saksi;
·         Keterangan ahli;
·         Surat;
·         Petunjuk, dan;
·         Keterangan terdakwa.
   Diatas tadi merupakan alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP berdasarkan pasal 184 ayat (1). Dalam hal untuk penanganan kasus tindak pidana korupsi, selain dari alat bukti KUHAP seperti yang dikemukakan dalam pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari alat bukti lain di luar KUHAP, yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu. Yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik” misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM), atau Write Once Read Many (WORM). Dan alat optic yang dimaksud disini atau yang serupa dengan itu, dalam hal ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (Electronic data intercharge), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. Disamping itu, dokumen juga dianggap sebagai alat bukti yang sah dalam tindak pidana korupsi. Dokumen itu dapat berupa rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
   Dalam hal alat bukti petunjuk seperti yang disebutkan dalam pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hanya dari ketiga alat bukti itu, bukti petunjuk dapat diolah. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan.
   Sama halnya dengan alat bukti yang digunakan pada tindak pidana korupsi, pada tindak pida terorisme pun demikian. Hanya dalam tindak pidana terorisme dalam hal dokumen tidak hanya terbatas pada tulisan, suara, atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;  huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
   Dalam hal pengajuan alat bukti dianggap telah cukup maka pihak penyidik dapat melakukan penyadapan terhadap alat komunikasi terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana teroris. Dan hal tersebut dapat diajukan sebagai alat bukti tambahan di pengadilan.  
   Untuk tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, alat bukti yang digunakan yaitu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya, merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal ini merupakan perluasan dari alat bukti yang terdapat dalam hukum acara pidana Indonesia. Dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan system eletronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Alat bukti yang diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumen yang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.