Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Selasa, 05 Mei 2015

Tugas Kriminologi Kontemporer Human Traficking

Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi. maka semakin berkembang pula modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar hukum.
Pelaku perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan. Rendahnya tingkat ekonomi, pendidikan dan situasi psikologis inilah menjadi salah satu penyebab yang tidak disadari sebagai peluang munculnya human trafficking atau perdagangan manusia. Istilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia dengan kata trafiking ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian yang maksimal dari pihak-pihak terkait. Tidaklah mengherankan jika korban trafiking terus berjatuhan, bahkan, rentetan korban demi korban masih mungkin akan terus bertambah.
Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun, orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situsi dan kondisi yangm rentan. Modus yang digunakan dalam kejahatan ini sangat beragam dan juga memiliki aspek kerja yang rumit. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi maka semakin berkembang pula modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan.
Lahirnya UU No. 21 Tahun 2007 merupakan instrument untuk melindungi masyarakat dari bahaya tindak pidana perdagangan orang, Akan tetapi, patutlah di waspadai bahwa karakteristik tindak pidana perdagangan orang ini, bersifat khusus merupakan Extraordinary crime, karena banyak melibatkan aspek kompleks, dan bersifat transnasionalorganized crime, karena melintasi batas-batas negara serta dilakukan oleh organisasi yang rapi dan tertutup Dengan demikian, strategi penanggulangan dan pemberantasannya harus secara khusus pula. Oleh karena itu, diperlukan profesionalisme dan kehandalan para penegak hukumnya untuk memahami ketentuan hukumnya dan melakukan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan seluruh lapisan masyarakat, sehingga diharapkan tindak pidana perdagangan orang ini dapat ditekan bahkan di berantas. Tindak pidana perdagangan manusia yang merupakan kejahatan lintas Negara atau kejahatan transnasional sudah menjadi keprihatinan global Negara-negara di dunia. Khusus untuk Indonesia agar dapat menjerat pelaku tindak pidana trafiking, Indonesia sudah mempunyai Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, disayangkan sekali terkadang aparat penegak hukum  justru menjadi mitra bagi pelaku perdagangan manusia, misalnya kerjasama dengan PJTKI.
Statistik untuk Perdagangan orang yang konkrit dan dapat diandalkan di Indonesia masih sangat sulit untuk didapatkan, karena ke-ilegalan-nya dan karena sifatnya tersembunyi. Meskipun demikian, informasi berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran cakupan dari masalah ini; pertama buruh migran: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memperkirakan bahwa pada tahun 2009 terdapat sekitar 500.000 warga negara Indonesia yang bermigrasi keluar negeri untuk bekerja melalui jalur tidak resmi. Berbagai LSM di Indonesia (termasuk juga KOPBUMI) memperkirakan bahwa sekitar 1,4 sampai 2,1 juta buruh migran perempuan Indonesia saat ini sedang bekerja diluar negeri; kedua Pembantu Rumah Tangga (PRT): Sebuah laporan dari konferensi ILO-IPEC 2001 memperkirakan bahwa ada sekitar 1,4 juta PRT dari Indonesia di Malaysia, dan 23 persennya adalah anak-anak; ketiga Pekerja Seks Komersial: Sebuah laporan Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) tahun 2008 memperkirakan bahwa ada sekitar 130.000 – 240.000 pekerja seks dari Indonesia di Honkong dan sampai 30 persennya adalah anak-anak di bawah 18 tahun(Hamim dan Agustinanto, 2008: 61).

1.      Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat kami tarik permasalahan yang akan dibahas di dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimana bentuk-bentuk dari Human Trafficking dan faktor penyebab terjadinya Human Trafficking?
2.      Bagaimana perlindungan hukum terhadap Human Trafficking?









PEMBAHASAN
1.      Pengertian Human Trafficking
Istilah dalam perdagangan manusia ini dapat diartikan sebagai “rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan ataupun menerima atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.” (Pasal 3, Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama Perempuan dan Anak, sebagai Tambahan terhadap Konvensi PBB menentang Kejahatan Terorganisir Transnasional, 2000).
Eksploitasi dalam perdaganagan manusia (human trafficking) dapat meliputi, paling tidak, adalah: Pertama, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual. Kedua, kerja atau pelayanan paksa. Ketiga, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan. Keempat, penghambaan. Kelima, pengambilan organ-organ tubuh.
Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human trafficking atau perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara). Tabel dibawah ini, yang disarikan dari Definisi PBB diatas, adalah alat yang berguna untuk menganalisis masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafiking atau tidak.

2.      Faktor yang Menyebabkan terjadinya Human Trafficking
Pembahasan dalam menguraikan sebab-sebab dari tindak pidana perdagangan orang berpedoman dari pengertian kriminologi berdasarkan pendekatan sebab akibat, dimana kriminologi menjelaskan hubungan sebab akibat dan fakta kriminal, serta berusaha mencari jawaban mengapa kejahatan terjadi. Sedangkan kejahatan ini sendiri diartikan sebagai perilaku yang anti sosial yang telah dilarang dan dirumuskan dalam hukum positif sebagai kejahatan. Sedangkan untuk penyebab tindak pidana perdagangan orang sangat luas sekali, tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya tindak perdagangan orang di Indonesia. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda, termasuk didalamnya adalah;
a.       Pertama, kurangnya kesadaran. Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya perdagangan orang dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
b.      Kedua, kemiskinan. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman.
c.       Ketiga, keinginan cepat kaya.Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang bermigrasi rentan terhadap  perdagangan orang.
d.      Keempat, faktor budaya. Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya perdagangan orang: yaitu peranperempuan dalam Keluarga, peran anak dalam keluarga, perkawinan dini, dan sejarah pekerjaan karena jeratan hutang (Valentina, 2008: 14).
e.       Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal seperti perdagangan manusia.
Sebab-sebab dari perdagangan orang diatas sesuai dengan teori sosiologi kriminal, tentang kejahatan sebagai suatu gejala di masyarakat. Sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat, dalam arti luas juga termasuk penyelidikan mengenai keadaan sekeliling fisiknya (Bonger, 1995: 25).
Dalam psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera (Santoso dan Zulfa, 2007: 51). Artinya bahwa, terkait dengan tindak pidana perdagangan orang ini, pelaku banyak mendapatkan kesempatan melakukan kejahatan karena calon korban lebih didominasi faktor ekonomi dan lemahnya langkah pencegahan dan pelindungan pemerintah terhadap calon korban.
Dalam hal ini juga sangat bertolak belakang dengan teori Lombrosso yang menyatakan bahwa asal muasal kejahatan berasal dari gen kebuasan dan sikap liar yang diturunkan oleh nenek moyang serta dapat ditandai dengan ciri fisik seseorang (Santoso dan Zulfa, 2007: 25). Padahal, banyak sekali kejahatan yang pelakunya sangat rapi sehingga terkadang masyarakat tidak menyangka kalau orang tersebut pelaku kejahatan, demikian sebaliknya. Jika calon korban mampu melakukan proteksi diri maka kecil kemungkinan perdagangan orang dapat terjadi, terlebih di sini pelakunya bukan orang yang bodoh atau tidak berpendidikan, rata-rata mereka mempunyai jaringan ke luar negeri.
3.      Bentuk-Bentuk Human Trafficking
Ada beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak. Dan ini seringkali menjadi alasan utama trafficking.
a.       Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia.
Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan  menolak bekerja.
b.      Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya.
c.       Bentuk Lain dari Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
d.      Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya – terutama di luar negeri.
Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
e.       Pengantin Pesanan – terutama di luar negeri.
Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
f.       Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak – terutama di Indonesia.
Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
g.      Trafiking/penjualan Bayi – baik di luar negeri ataupun di Indonesia.
Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.

4.      Instrumen Penegakan Hukum Tindal Pidana Human Trafficking
Dinamika dan berbagai upaya yang dilakukan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional untuk memberantas perdagangan orang, terutama perempuan dan anak melalui instrument intenasional sejak tahun 1904. Usaha penghapusan tersebut ditandai dengan diselenggarakannya konferensi internasional perdagangan manusia pertama kali, yakni konferensi mengenai perdagangan wanitaatau ”trafficking in women” diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian pada tahun 1904, di kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional pertama menentang Perdagangan Budak Berkulit Putih yang dikenal dengan istilah Intenational Agreement the Supresssion of White Slave Traffic. Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan tujuan pelanggaran kesusilaan. Konvensi awal ini membatasi diri pada penentangan bentuk pemaksaan dalam perdagangan perempuan, tetapi sama sekali tidak mempermasalahkan tiadanya bukti pemaksaan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam perekrutannya.
Kesepakatan tersebut dalam prakteknya tidak berjalan efektif karena gerakan anti perdagangan manusia pada saat itu lebih didorong karena adanya ancaman terhadap kemurnian populasi perempuan kulit putih. Pada sisi lain, kesepakatan tersebut juga lebih banyak memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban daripada menghukum pelaku kejahatannya, sehingga tepat enam tahun kemudian, yakni pada tahun 1910 disetujui Internasional Convention for the Supression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional tanggal 4 Mei 1910 untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih, di amandemen dengan Protokol PBB tanggal 3 Desember 1948). Konvensi tersebut kemudian mewajibkan negara untuk menghukum siapapun, yang membujuk orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau membujuk perempuan dewasa untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.
Dalam perkembangan selanjutnya dengan dibantu oleh Liga Bangsa-bangsa, ditandatanganilah Convention on the Supression of Traffic in Women and Children pada tahun 1921 (Konvensi Internasional tanggal 4 Mei 1910 untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947) dan International Convention of the Supression of Traffic in Women of Full  Age di tahun 1933 (Konvensi Internasional tanggal 11 Oktober 1933 untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947).
Keempat konvensi tersebut kemudian dikonsolidasikan oleh PBB pada tahun 1949 ke dalam Convention for the Supression of the Traffic in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Others. Konvensi ini mewajibkan negara peserta untuk menghukum mereka yang menjerumuskan orang-orang, bahkan korban jika menyetujuinya, demi memuaskan manusia lainnya. Dalam konvensi ini juga disebutkan bahwa negara peserta juga terikat untuk menghukum mereka yang mengeksploitasi pelacur. Konvensi ini juga mencakup mereka yang secara finansial terlibat dalam pengelolaan atau pengoperasian rumah pelacur atau siapapun yang menyewakan atau menyewa tempat-tempat untuk melacurkan orang-orang lain.
Pada tahun 1926, lahirlah sebuah instrumen internasional yang secara tegas melarang praktek perbudakan. Konvensi ini kemudian ditandatangani di Jenewa pada tanggal 25 September 1926. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah guna pengahapusan sesegera mungkin perangkat-perangkat kelembagaan serta praktek-praktek yang meliputi perbudakan berdasarkan hutang, perhambaan, pertunangan anak dan praktek-praktek perkawinan dimana seorang perempuan diperlakukan sebagaiharta milik, baik oleh keluarganya sendiri maupun keluarga suaminya, ataubisa diwariskan setelah kematian suaminya.
Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 2000, Majelis Umum PBB, berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 55/25 mengadopsi Konvensi tentang United Nations Convention Against Transnational Organized Crime atau Konvensi mengenai Kejahatan Terorganisir beserta ketigaprotokolnya, yakni:
·         Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol Pergadangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak);
·         Protocol Against the Smuggling of Migrants by Land Air and Sea, supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Penyelundupan Migran);
·         Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Their Parts and Components and  Ammunition, supplementing United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol Perdagangan Senjata Gelap).
Dalam Preambule Protokol, Negara Peserta (States Parties) menyatakan tindakan efektif (effective action) untuk mencegak dan memerangi perdagangan wanita dan anak memerlukan pendekatan internasional komprehensif di negara-negara asal, transit, tujuan (the countries of origin, transit, and destination) termasuk upaya-upaya untuk mencegah perdagangan, menghukum pelakunya (trafficker), dan melindungi korbanya termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional.
Indonesia telah mengesahkan protocol ini pada tanggal 5 Maret 2009 dengan UU Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang  Terorganisasi).[24]
            Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang di Indonesia, pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak lakilaki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Selanjutnya, dalam Pasal 83 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak sanksi yang dieberikan terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang.
Berbagai upaya dan strategi telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia maupun organisasi non-pemerintah dalam menghadapi perdagangan perempuan dan anak. Strategi tersebut dibutuhkan atau dilakukan baik bersifat preventif maupun represif, yaitu penguatan pada kebijakan migrasi serta hukum pidana untuk perlindungan hukum bagi perempuan dan anak sebagai korban, serta diupayakan penanganan sebagai korban tanpa mengesampingkan hak-haknya sebagai perempuan dan anak.
Selain upaya memalui pembuatan instrumen hukum, yang mengatur secara umum maupun khuhsus tentang perlindungan hukum terhadap perdagangan perempuan dan anak seperti yang terakhir diantaranya Undang-Undang No. 21  Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pemerintah Indonesia juga membuat Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Peremnpuan dan Anak  (RANP3A)yang ditetapkan melalui Keppres Nomor 88 Tahun 2002. RANP3A ini dimaksudkan sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah Indonesia dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Dalam Hukum Nasional Indonesia,  sebelum lahirnya UU 21 Tahun 2007 dan UU Nomor 14 Tahun 2009, upaya-upaya perlindungan hukum untuk mencegah dan menangani kejahatan perdagangan perempuan dan anak didasarkan pada ketentuan KUHP. Peraturan yang lain adalah UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta beberapa Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia antara lain : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Nomor 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, Undang-Undang No 7 Tahun 1984 Tentang Ratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan lain-lainnya.
Pasal 297 KUHP secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur. Dilihat dari sudut korbannya, hampir seluruh kasus yang ditemukan korbannya adalah perempuan dan anak-anak di bawah umur, termasuk bayi. Hanya sebagian kecil kasus yang menyangkut tenaga kerja Indonesia, yang korbannya juga lakilaki dewasa yang berarti tidak masuk dalam korban yang dilindungi oleh pasal 297 KUHP. Kelemahan lain dari pasal 297 KUHP ini adalah hanya membatasi ruang lingkup pada eksploitasi seksual, artinya pasal ini baru dapat menjaring perdagangan manusia apabila korbannya digunakan untuk kegiatan yang bersifat eksploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adposi ilegal anak dan bayi[25].
Permasalahan lain yang berkaitan dengan pasal 297 KUHP adalah tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum dewasa ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang korban di bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan bahwa korbannya harus di bawah umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang secara khusus menyebutkan usia 12 tahun, 15 tahun, 17 tahun sehingga tidak ada patokan yang jelas
untuk masalah umur ini. Sementara itu, menurut Burgerligh Wetbook (BW), usia belum dewasa adalah di bawah 21 tahun atau belum menikah, sementara menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia belum dewasa adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Undangundang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyatakan bahwa anak adalah ‘orang yang mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin’. Disini dapat ditafsirkan bahwa seseorang di bawah umur 18 tahun yang sudan kawin berarti tidak masuk kategori ‘anak’ lagi. Lebih lanjut dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Mengenai batasan usia ini harus ada satu ketentuan yang tegas agar hanya ada satu pengertian.
Sebagai upaya untuk menutupi kelemahan dalam KUHP,  pemerintah telah membuat Rancangan KUHP  dengan mengakomodir pasal-pasal yang terkait dengan perdagangan orang secara eksplisit, yaitu :
a)    Tindak Pidana Perdagangan Orang
b)    Memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan.
c)    Mengeluarkan orang dari wiiayah Indonesia untuk diperdagangkan
d)    Perdagangan orang yang mengakibatkan luka berat atau penyakit.
e)    Perdagangan arang oleh kelompok yang terorganisasi.
f)     Persetubuhan dan pencabulan terhadap orang yang diperdagangkan.
g)    Pemasulan dokumen atau identitas untuk memudahkan perdagangan orang.Penyalahgunaan kekuasaan untuk perdagangan orang.
h)   Menyembunyikan orang yang melakukan perdagangan orang.
i)      Perdagangan orang di kapal.
Namun demikian, apabila dicermati mengenai hal-hal di dalam Rancangan KUHP tersebut :
a)    Pasal-pasal tersebut lebih bersifat preventif.
b)    Pengaturan tentang korban perempuan dan anak lebih bersifat general, sehingga dianggap belum sesuai dengan kebutuhan yang memerlukaan aturan yang lebih spesifik. Tidak adanya hukum yang khusus yang mengatur tentang masalah perdagangan perempuan dan anak, mengakibatkan meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan lemahnya penegakan hukumnya. Aturan yang diberlakukan sementara ini adalah berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun 2002, maupun UU Nomor 23 Tahun 2004.
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ketentuan dipergunakan untuk menjaring trafficker  sebagaimana diatur dalam Pasal 83 dan 88 yang berbunyi :
Pasal 83:
“Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 88:
“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Tetapi dalam undang-undang ini, cakupannya hanya terbatas pada anak sehingga pelaku perdagangan orang dengan korban yang bukan anak-anak, tidak dapat dikenakan Undang-undang ini.

Di dalam ketiga UU tersebut, tidak adanya definisi resmi tentang perdagangan orang baik dalam KUHP, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka di dalam praktek pasal-pasal tersebut sulit untuk digunakan. Pihak Kepolisian juga melaporkan, bahwa pelaku perdagangan orang sering kali terdiri dari orang-orang yang berbeda pada setiap tahapan perdagangan orang seperti misalnya orang yang merekrut berbeda dengan orang yang mengantar atau membawa korban, dan lain lagi orang yang menampung atau menyerahkan korban kepada pengguna. Sehingga jika ia tertangkap oleh pihak berwajib, paling hanya bisa dikenakan tuduhan penipuan atau perlakuan tidak menyenangkan yang ancaman hukumannya ringan tidak sepadan dengan penderitaan.
Di dalam konvensi ILO 182 dinyatakan bahwa penjualan dan perdagangan anak  adalah "Suatu bentuk perbudakan atau praktek serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan itu sendiri ". Karena itu penjualan dan perdagangan anak termasuk salah satu bentuk terburuk Perburuhan Anak. Konvensi ILO No. 182 ini menekankan pentingnya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak. Oleh karena itu negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi ini berkewajiban untuk menuangkannya daiam bentuk peraturan perundang-undangan dan melaksanakannya melalui program-program aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak.
Dalam rangka pencegahan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, perlu dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan pendidikan, penyebarluasan informasi, dan peningkatan pengawasan. Peningkatan pendidikan dan penyebarluasan informasi merupakan faktor yang sangata penting. sebagaimana dilaporkan Rosenberg,  profil perempuan dan anak korban perdagangan orang serta mereka yang beresiko, pada umumnya berasal dari keluarga miskin, kurang pendidikan, kurang informasi dan berada pada kondisi sosial budaya yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Peningkatan pendidikan harus menjadi perhatian semua pihak dan terutama ditujukan kepada anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolahnya.
Selanjutnya, mengenai penyebarluasan informasi pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapapun yang peduli dengan masalah perdagangan orang dan ditujukan kepada khalayak luas baik dalam rangka memberikan informasi agar mereka mengetahui masalah perdagangan orang, maupun dalam rangka mengajak mereka berpartisipasi sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya dalam upaya-upaya penghapusannya. Kampanye tentang kasus-kasus perdagangan orang dilakukan melalui media massa (cetak maupun elektronik) dalam rangka pengembangan opini, keberpihakan, dan dukungan massa.
Sementara peningkatan pengawasan, terutama ditujukan terhadap para pekerja migrant. Pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap operasional perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia dalam merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan memberangkatkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Upaya ini didukung oleh masyarakat melalui DPR RI sehingga beberapa undang-undang telah ditetapkan: Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
3.1       Penindakan (repsesif)
Penindakan hukum kepada trafficker, sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan oleh yang berwajib (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi mengingat perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-diam, kepada masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM, disosialisasikan agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini dengan cara memberikan informasi kepada yang berwenang jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi adanya kegiatan perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus kepada terjadinya kejahatan itu.
Pihak Kepolisian di seluruh wilayah telah membuka hot-line yang dapat diakses oleh masyarakat yang ingin melaporkan adanya tindak kejahatan, dan pihak Kepolisian akan segera menanggapi dan menindaklanjuti informasi yang diberikan Perdagangan orang menjadi ancaman bagi keamanan dalam negeri karena telah menjadi sumber penghasilan yang sangat besar bagi sindikat kejahatan internasional. Kejahatan lintas batas ini juga menjadi ancaman bagi kesehatan manusia karena korbannya: pria, wanita dan anak-anak diperjual-belikan dengan tidak ada rasa kemanusiaan dan tidak mempedulikan akibat kejiwaan dan penyakit yang dapat menimpa korbannya.
Sebagai bagian dari transnational organized crime, perdagangan orang tidak dapat diperangi secara partial atau secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Negara-negara yang anti perbudakan dan berniat melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G) antar LSM, organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan teroganisir tersebut.
Kerjasama penindakan hukum antara Pemerintah Indonesia dengan negara tetangga dan negara tujuan lainnya sudah lama dibina seperti misalnya dengan Pemerintah Australia dan Hong Kong yaitu melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty Between RI and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters), dan Undang-undang No. 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of Indonesia and the Government of Hong Kong for the Surrender of Fugitive Offenders).
Kerjasama dengan negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan Singapura sangat penting dilakukan. Komitmen bersama antara aparat penegak hukum Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk mengatasi perdagangan orang sebagaiman telah menjadi tujuan dari Konferensi Penegakan Hukum Internasional tentang Perdagangan Orang,  di Batam bulan Februari 2004,  yang dihadiri 50 orang aparat penyidik dari Malaysia, Singapura dan Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh Duta Besar AS untuk Indonesia yang mengajak penyidik Kepolisian negara peserta untuk menghukum pelaku perdagangan orang (trafficker) dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dengan hukuman seberat-beratnya.
Amerika Serikat yang ditengarai sebagai negara tujuan perdagangan orang, memberikan dukungan kuat kepada negara-negara lain sebagai daerah sumber atau sebagai daerah transit, termasuk kepada Indonesia. Sejak awal tahun 2005, Amerika Serikat menyatakan penguatan komitmen dukungannya melalui keterikatan kerjasama Indonesia-Amerika Serikat senilai US$ 9 juta dalam periode waktu empat tahun, dalam rangka memerangi perdagangan orang lintas batas dari dan ke Indonesia, dan juga yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Kerjasama tersebut ditujukan untuk: pencegahan perdagangan orang melalui pendidikan dan cara lainnya; memberikan bantuan, perlindungan dan reintegrasi korban perdagangan orang; serta memperkuat upaya-upaya penegakan hukum untuk menghentikan pelaku perdagangan orang (trafficker). Sebagai executing agencies adalahLSM internasional dan badan-badan seperti Save the Children-AS, American Center for International Labor Solidarity (ACILS), International Catholic Migration Commision (ICMC), dan International Organization for Migration (IOM) bekerja sama Instansi Pemerintah Indonesia, kelompok masyarakat madani Indonesia, dan komunitas lokal.
Protokol untuk mencegah, menindas, menghukum pelaku perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, serta tambahan konvensi PBB terhadap kejahatan Transnasional yang terorganisasi (Protokol Perdagangan), G.A. Res, 55/25, Annex II, 55 U.N. GAOR Supp. (No.49) at 60, U.N. Doc. A/45/49 (Vol.I) (2001), mulai berlaku 25 desember 2003 telah menentukan bahwa “Perdagangan Manusia” (human trafficking) meliputi semua tindakan yang terkait dengan perekrutan, pengangkutan, transfer, penjualan, atau pembelian manusia dengan pemaksaan, penipuan, pencurangan atau taktik-taktik pemaksaan lainya yang bertujuan menempatkan mereka dalam kondisi kerja paksa atau praktek-praktek serupa perbudakan, dimana kerja dikuras lewat cara-cara pemaksaan jasmaniah atau non fisik, termasuk pemerasan, penipuan, pencurangan, pengisolasian, pengecaman atang penggunaan kekuatan fisik, atau tekanan psikologis.
Kejahatan sebagai sebuah perilaku menyimpang, keberadaannya setua usia manusia itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa “ crime is the oldest social problem “ (Alper, 1973 : 85). Karena kejahatan merupakan masalah yang selalu melekat dalam kehidupan manusia. Dimana ada masyarakat disitu akan muncul kejahatan (Ubisocius ubi crime). Karena kejahatan adalah hasil dialektika antara kejahatan dan masyarakat. Kejahatan adalah hasil masyarakat dan masyarakat menghasilkan kejahatan.
Meskipun jaman telah berubah, namun perbudakan atau eksploitasi manusia terhadap manusia yang lain terus terjadi. Ketika terjadi kesenjangan ekonomi yang tinggi sedangkan sumber ekonomi terbatas maka ini semua berpotensi untuk melahirkan kejahatan. Organisasi Internasional yang memberikan perhatian terhadap buruh migran (IOM) memberikan definisi tentang perdagangan manusia sebagai berikut : trafficking in human beings occurs when a migrant is illicity engaged (recruited, kidnapped, sold, etc) and/ or moved, eithter within national or across international borders; intermediaries (traffickers) during any part of this process obtain economicor other profit by means of deception, coercion and/or other forms of exploitation imder conditions that violate the fundamental human rights of migrants.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, jelas bahwa trafficking merupakan Pidana Internasional. Oleh karena itu, mengingat prinsip-prinsip hukum Pidana Internasional, semestinya semua negara berkewajiban untuk menanggulangi trafficking tersebut.


PENUTUP

Kesimpulan
Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun, orang-orang dewasa dan anak – anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situsi dan kondisi yang rentan.
Beberapa faktor sangat mendukung atas tindakan kejahatan ini yang dimana kebanyakan pelaku merasa kekurangan dan mencari jalan yang cepat untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan, salah satunya Human Trafficking yang dimana kebanyakan pelaku merasa inilah satu-satunya jalan pintas untuk mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan dengan mudah dan cepat, apalagi mereka melihat peluang seperti itu di indonesia sendiri masih sangat mungkin. Padahal hal tersebut menjadikan momok yang tak patut dan merusak generasi bangsa yang seharusnya menjadi prioritas utama dalm pemnbangunan suatu bangsa. Kebanyakan orang hanya berpikir praktis tanpa melihat resiko dan akibat yang menantinya.
Masalah trafficking perempuan dan anak dengan alasan dantujuan apapun tetap merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap HAM.Indonesia sebagai Negara Peserta United Nations Convention Against Transnational Organized Crime beserta Negara Peserta lainnya mempunyai tanggung jawab secara`moral dan hukum untuk menjamin eberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia. Sebagaimana menurut Deklarasi Hak Asasi Manusia serta beberapa instrument Internasional lainnya. Pemerintah bertanggung jawab dengan menegakkan hukum untuk memberi perlindungan kepada orang-orang yang diperdagangan, wajib bertindak secermat-cermatnya untuk mencegah, menginvestigasi, dan menghukum pelanggaran HAM dan memberikan penyembuhan dan ganti rugi kepadakorban pelanggaran.
Perdagangan manusia atau Human trafficking merupakan kejahatan yang luar biasa. Ia merupakan kejahatan perbudakan modern atau modern slavery crime. Human Trafficking ini merupakan kejahatan transnasional atau paling tidak melibatkan beberapa negara. Sehingga Human Trafficking menjadi Pidana Internasional.
Oleh karena itu dibutuhkan komitmen semua negara untuk menanggulangi human trafficking tersebut. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam berbagai bentuk antara lain: perjanjian internasional, protokol, dan lain-lain, tentang pencegahan human trafficking.


DAFTAR PUSTAKA
·      http://helmayulita.wordpress.com/2012/02/08/human-trafficking/
·      http://pchanoke.multiply.com/journal/item/30
·      http://hukumadil.blogspot.com/2009/04/tinjauan-konseptual-hukum-pidana.html
·      http://rizhan-hukum.blogspot.com/2010/12/human-trafficking.html
·      http://www.scribd.com/fajarnonoman/d/32824694-Hukum-Pidana-Internasional
·      http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_manusia


D. Undang-Undang tentang Trafficking
Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan :
·       Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285, 287-298; Pasal 506
·       UU RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/CEDAW; pasal 2,6,9,11,12,14,15,16)
·       UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi konvensi  ILO No. 138 tentang Usia Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)
·       UU RI No. 1/2000 (ratifikasi  konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan  Terburuk untuk Anak)
·       UU RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi untuk Mengeliminasi Diskriminasi Rasial)
·       Keppres No 36/1990 ( ratifikasi konvensi Hak Anak)
E. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking 
Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam hukum.
Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.
Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO, dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah :
1.    Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
2.    Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar,
3.    Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
4.    Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,
5.    Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.
F. Hambatan Pemberantasan Trafficking
Upaya penanggulangan perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak mengalami berbagai hambatan. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama ini, terdapat 3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya tersebut, yaitu antara lain:
Budaya masyarakat (culture)
Anggapan bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipe yang ada di masyarkat tersebut  masih mempengaruhi cara berpikir masyarakat dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang dialami korban perdagangan perempuan dan anak.
Kebijakan pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan (legal substance)
Belum adanya regulasi yang khusus (UU anti trafficking) mengenai perdagangan perempuan dan anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai  RAN penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Ditambah lagi dengan masih kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu sendiri dan kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut.
Aparat penegak hukum (legal structure)

Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga korban bekerja dilihat sebagai proses kriminalisasi biasa.

Tugas Pembaharuan Hukum Pidana

POLEMIK mengenai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terus bergulir. Polemik paling hangat menyangkut beberapa materi krusial, seperti pasal menyangkut penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden

Dalam draf RUU KUHAP BAB  II mengenai  tindak pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden pada bagian kesatu pasal 264 disebutkan, setiap orang yang menyerang diri presiden atau wakil presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun
Bagian kedua pada pasal 265 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 266 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Menarik dicermati, dalam pasal itu tidak djelaskan secara detail batasan yang dikategorikan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Tentu saja, sebagian besar kalangan merasa terusik. Tanpa definisi dan batasan yang jelas, pasal ini ibarat pasal karet
Bukan tidak mungkin, unjuk rasa mengkritik kebijakan presiden dan wakil presiden bisa berujung pada pidana. Apalagi, kritik tersebut menuntut sang presiden maupun wakil presiden mundur dari jabatannya. Kondisi ini mengingatkan pada zaman kelam di era orde baru yang terkenal otoriter dan antikritik.
UU tersebut bisa menyebabkan suara kritik terhadap kebijakan presiden maupun wakil presiden yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat semakin sumir terdengar. Sebab, sikap kritis itu dihantui akan ancaman pasal mengenai penghinaan terhadap presiden.
Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri pernah membatalkan UU tentang penghinaan terhadap presiden tersebut dengan alasan bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Tidak sekadar sikap kritis masyarakat terhadap presiden dan wakil presiden yang dipersempit dengan acaman lahirnya UU itu. Ruang kebebasan berkespresi dalam berkarya juga semakin dipersempit.

Misalnya, ilustrasi kekecewaan terhadap presiden dan wakil presiden yang dituangkan dalam bentuk karya seni juga semakin terbatasi dengan sendirinya, karena dihantui pasal tersebut.