Perdagangan
manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat
sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk
perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini
terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Dengan
perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi.
maka semakin berkembang pula modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering
dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar hukum.
Pelaku
perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi sindikasi
lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan. Rendahnya tingkat
ekonomi, pendidikan dan situasi psikologis inilah menjadi salah satu penyebab
yang tidak disadari sebagai peluang munculnya human trafficking atau
perdagangan manusia. Istilah yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia
dengan kata trafiking ini, sampai saat ini belum mendapat perhatian yang
maksimal dari pihak-pihak terkait. Tidaklah mengherankan jika korban trafiking
terus berjatuhan, bahkan, rentetan korban demi korban masih mungkin akan terus
bertambah.
Perdagangan
orang dapat mengambil korban dari siapapun, orang-orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situsi dan kondisi
yangm rentan. Modus yang digunakan dalam kejahatan ini sangat beragam dan juga
memiliki aspek kerja yang rumit. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi,
informasi, komunikasi dan transportasi maka semakin berkembang pula modus
kejahatannya yang dalam beroperasinya sering secara tertutup dan bergerak di
luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) pun dengan cepat berkembang
menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara kerja yang mematikan.
Lahirnya
UU No. 21 Tahun 2007 merupakan instrument untuk melindungi masyarakat dari
bahaya tindak pidana perdagangan orang, Akan tetapi, patutlah di waspadai bahwa
karakteristik tindak pidana perdagangan orang ini, bersifat khusus merupakan
Extraordinary crime, karena banyak melibatkan aspek kompleks, dan bersifat
transnasionalorganized crime, karena melintasi batas-batas negara serta
dilakukan oleh organisasi yang rapi dan tertutup Dengan demikian, strategi
penanggulangan dan pemberantasannya harus secara khusus pula. Oleh karena itu,
diperlukan profesionalisme dan kehandalan para penegak hukumnya untuk memahami
ketentuan hukumnya dan melakukan penegakan hukum yang konsisten dan
berkesinambungan seluruh lapisan masyarakat, sehingga diharapkan tindak pidana
perdagangan orang ini dapat ditekan bahkan di berantas. Tindak pidana
perdagangan manusia yang merupakan kejahatan lintas Negara atau kejahatan
transnasional sudah menjadi keprihatinan global Negara-negara di dunia. Khusus
untuk Indonesia agar dapat menjerat pelaku tindak pidana trafiking, Indonesia
sudah mempunyai Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Akan tetapi, disayangkan sekali terkadang aparat
penegak hukum justru menjadi mitra bagi
pelaku perdagangan manusia, misalnya kerjasama dengan PJTKI.
Statistik
untuk Perdagangan orang yang konkrit dan dapat diandalkan di Indonesia masih
sangat sulit untuk didapatkan, karena ke-ilegalan-nya dan karena sifatnya
tersembunyi. Meskipun demikian, informasi berikut ini mungkin dapat memberikan
gambaran cakupan dari masalah ini; pertama buruh migran: Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi memperkirakan bahwa pada tahun 2009 terdapat sekitar
500.000 warga negara Indonesia yang bermigrasi keluar negeri untuk bekerja
melalui jalur tidak resmi. Berbagai LSM di Indonesia (termasuk juga KOPBUMI)
memperkirakan bahwa sekitar 1,4 sampai 2,1 juta buruh migran perempuan
Indonesia saat ini sedang bekerja diluar negeri; kedua Pembantu Rumah Tangga
(PRT): Sebuah laporan dari konferensi ILO-IPEC 2001 memperkirakan bahwa ada
sekitar 1,4 juta PRT dari Indonesia di Malaysia, dan 23 persennya adalah
anak-anak; ketiga Pekerja Seks Komersial: Sebuah laporan Organisasi Perburuhan
Dunia (ILO) tahun 2008 memperkirakan bahwa ada sekitar 130.000 – 240.000
pekerja seks dari Indonesia di Honkong dan sampai 30 persennya adalah anak-anak
di bawah 18 tahun(Hamim dan Agustinanto, 2008: 61).
1. Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka dapat kami tarik permasalahan yang akan dibahas di
dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana
bentuk-bentuk dari Human Trafficking
dan faktor penyebab terjadinya Human
Trafficking?
2. Bagaimana
perlindungan hukum terhadap Human Trafficking?
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Human Trafficking
Istilah
dalam perdagangan manusia ini dapat diartikan sebagai “rekrutmen, transportasi,
pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau
penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan ataupun menerima atau memberi bayaran atau manfaat sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk
eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya,
kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa
dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ-organ tubuh.” (Pasal 3,
Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, terutama
Perempuan dan Anak, sebagai Tambahan terhadap Konvensi PBB menentang Kejahatan
Terorganisir Transnasional, 2000).
Eksploitasi
dalam perdaganagan manusia (human trafficking) dapat meliputi, paling tidak,
adalah: Pertama, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk
lain dari eksploitasi seksual. Kedua, kerja atau pelayanan paksa. Ketiga,
perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan. Keempat,
penghambaan. Kelima, pengambilan organ-organ tubuh.
Persatuan
Bangsa-bangsa (PBB) mendefenisikan human trafficking atau perdagangan manusia
sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk
pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin
dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
(Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking
terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB
mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara). Tabel dibawah ini, yang disarikan dari
Definisi PBB diatas, adalah alat yang berguna untuk menganalisis masing-masing
kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafiking atau tidak.
2. Faktor
yang Menyebabkan terjadinya Human Trafficking
Pembahasan
dalam menguraikan sebab-sebab dari tindak pidana perdagangan orang berpedoman
dari pengertian kriminologi berdasarkan pendekatan sebab akibat, dimana
kriminologi menjelaskan hubungan sebab akibat dan fakta kriminal, serta
berusaha mencari jawaban mengapa kejahatan terjadi. Sedangkan kejahatan ini
sendiri diartikan sebagai perilaku yang anti sosial yang telah dilarang dan
dirumuskan dalam hukum positif sebagai kejahatan. Sedangkan untuk penyebab
tindak pidana perdagangan orang sangat luas sekali, tidak ada satupun yang
merupakan sebab khusus terjadinya tindak perdagangan orang di Indonesia. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam
kondisi serta persoalan yang berbeda-beda, termasuk didalamnya adalah;
a. Pertama,
kurangnya kesadaran. Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di
Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya perdagangan
orang dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak
mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip
perbudakan.
b. Kedua,
kemiskinan. Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan
strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan
bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna
membayar hutang atau pinjaman.
c. Ketiga,
keinginan cepat kaya.Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih
tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat orang-orang yang bermigrasi rentan
terhadap perdagangan orang.
d. Keempat,
faktor budaya. Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya perdagangan orang: yaitu peranperempuan dalam Keluarga, peran anak
dalam keluarga, perkawinan dini, dan sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
(Valentina, 2008: 14).
e. Korupsi
& Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup
dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan
yang bersifat kriminal seperti perdagangan manusia.
Sebab-sebab
dari perdagangan orang diatas sesuai dengan teori sosiologi kriminal, tentang
kejahatan sebagai suatu gejala di masyarakat. Sampai dimana letak sebab-sebab
kejahatan dalam masyarakat, dalam arti luas juga termasuk penyelidikan mengenai
keadaan sekeliling fisiknya (Bonger, 1995: 25).
Dalam
psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku
criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik dia begitu menguasai
sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak
dapat mengontrol dorongan-dorongan individu, dan bagi suatu kebutuhan yang
harus dipenuhi segera (Santoso dan Zulfa, 2007: 51). Artinya bahwa, terkait
dengan tindak pidana perdagangan orang ini, pelaku banyak mendapatkan
kesempatan melakukan kejahatan karena calon korban lebih didominasi faktor
ekonomi dan lemahnya langkah pencegahan dan pelindungan pemerintah terhadap
calon korban.
Dalam
hal ini juga sangat bertolak belakang dengan teori Lombrosso yang menyatakan
bahwa asal muasal kejahatan berasal dari gen kebuasan dan sikap liar yang
diturunkan oleh nenek moyang serta dapat ditandai dengan ciri fisik seseorang
(Santoso dan Zulfa, 2007: 25). Padahal, banyak sekali kejahatan yang pelakunya
sangat rapi sehingga terkadang masyarakat tidak menyangka kalau orang tersebut
pelaku kejahatan, demikian sebaliknya. Jika calon korban mampu melakukan
proteksi diri maka kecil kemungkinan perdagangan orang dapat terjadi, terlebih
di sini pelakunya bukan orang yang bodoh atau tidak berpendidikan, rata-rata
mereka mempunyai jaringan ke luar negeri.
3. Bentuk-Bentuk
Human Trafficking
Ada
beberapa bentuk trafiking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak.
Dan ini seringkali menjadi alasan utama trafficking.
a.
Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks baik
di luar negeri maupun di wilayah Indonesia.
Dalam
banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran,
PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian
tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah
tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki
industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka
dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja.
b.
Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di
luar ataupun di wilayah Indonesia.
PRT
baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi
kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam kerja wajib yang sangat panjang,
penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena
jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak
diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau
diperintah untuk melanggar agamanya.
c.
Bentuk Lain dari Kerja Migran – baik di
luar ataupun di wilayah Indonesia.
Meskipun
banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan
mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran,
industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini ditrafik ke
dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit
atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja
seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan.
d.
Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya
– terutama di luar negeri.
Perempuan
dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi,
atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari perempuan
ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan dengan kondisi
mirip perbudakan.
e.
Pengantin Pesanan – terutama di luar
negeri.
Beberapa
perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang
berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu,
para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga
mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
f.
Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak –
terutama di Indonesia.
Beberapa
(tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas
pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam
situasi yang mereka hadapi saat ini.
g.
Trafiking/penjualan Bayi – baik di luar
negeri ataupun di Indonesia.
Beberapa
buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri
dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal.
Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT
kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi
tersebut ke pasar gelap.
4. Instrumen
Penegakan Hukum Tindal Pidana Human Trafficking
Dinamika
dan berbagai upaya yang dilakukan baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional untuk memberantas perdagangan orang, terutama perempuan dan anak
melalui instrument intenasional sejak tahun 1904. Usaha penghapusan tersebut
ditandai dengan diselenggarakannya konferensi internasional perdagangan manusia
pertama kali, yakni konferensi mengenai perdagangan wanitaatau ”trafficking in
women” diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian pada tahun 1904,
di kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan
kesepakatan internasional pertama menentang Perdagangan Budak Berkulit Putih
yang dikenal dengan istilah Intenational Agreement the Supresssion of White
Slave Traffic. Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar
negeri dengan tujuan pelanggaran kesusilaan. Konvensi awal ini membatasi diri
pada penentangan bentuk pemaksaan dalam perdagangan perempuan, tetapi sama
sekali tidak mempermasalahkan tiadanya bukti pemaksaan atau penyalahgunaan
kekuasaan dalam perekrutannya.
Kesepakatan
tersebut dalam prakteknya tidak berjalan efektif karena gerakan anti
perdagangan manusia pada saat itu lebih didorong karena adanya ancaman terhadap
kemurnian populasi perempuan kulit putih. Pada sisi lain, kesepakatan tersebut
juga lebih banyak memfokuskan perhatian kepada perlindungan korban daripada
menghukum pelaku kejahatannya, sehingga tepat enam tahun kemudian, yakni pada
tahun 1910 disetujui Internasional Convention for the Supression of White Slave
Traffic (Konvensi Internasional tanggal 4 Mei 1910 untuk Penghapusan
Perdagangan Budak Kulit Putih, di amandemen dengan Protokol PBB tanggal 3
Desember 1948). Konvensi tersebut kemudian mewajibkan negara untuk menghukum
siapapun, yang membujuk orang lain, baik dengan cara menyelundupkan atau dengan
menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan cara lain
dalam memaksa, mengupah, menculik atau membujuk perempuan dewasa untuk tujuan
pelanggaran kesusilaan.
Dalam
perkembangan selanjutnya dengan dibantu oleh Liga Bangsa-bangsa,
ditandatanganilah Convention on the Supression of Traffic in Women and Children
pada tahun 1921 (Konvensi Internasional tanggal 4 Mei 1910 untuk Penghapusan
Perdagangan Perempuan dan Anak, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20
Oktober 1947) dan International Convention of the Supression of Traffic in
Women of Full Age di tahun 1933
(Konvensi Internasional tanggal 11 Oktober 1933 untuk Penghapusan Perdagangan
Perempuan Dewasa, diamandemen dengan Protokol PBB tanggal 20 Oktober 1947).
Keempat
konvensi tersebut kemudian dikonsolidasikan oleh PBB pada tahun 1949 ke dalam Convention for the Supression of the Traffic
in Person and of the Exploitation of the Prostitution of Others. Konvensi
ini mewajibkan negara peserta untuk menghukum mereka yang menjerumuskan
orang-orang, bahkan korban jika menyetujuinya, demi memuaskan manusia lainnya.
Dalam konvensi ini juga disebutkan bahwa negara peserta juga terikat untuk
menghukum mereka yang mengeksploitasi pelacur. Konvensi ini juga mencakup
mereka yang secara finansial terlibat dalam pengelolaan atau pengoperasian
rumah pelacur atau siapapun yang menyewakan atau menyewa tempat-tempat untuk
melacurkan orang-orang lain.
Pada
tahun 1926, lahirlah sebuah instrumen internasional yang secara tegas melarang
praktek perbudakan. Konvensi ini kemudian ditandatangani di Jenewa pada tanggal
25 September 1926. Konvensi ini mewajibkan negara untuk mengambil
langkah-langkah guna pengahapusan sesegera mungkin perangkat-perangkat
kelembagaan serta praktek-praktek yang meliputi perbudakan berdasarkan hutang,
perhambaan, pertunangan anak dan praktek-praktek perkawinan dimana seorang
perempuan diperlakukan sebagaiharta milik, baik oleh keluarganya sendiri maupun
keluarga suaminya, ataubisa diwariskan setelah kematian suaminya.
Selanjutnya
pada tanggal 15 Desember 2000, Majelis Umum PBB, berdasarkan Resolusi Majelis
Umum PBB 55/25 mengadopsi Konvensi
tentang United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
atau Konvensi mengenai Kejahatan Terorganisir beserta ketigaprotokolnya, yakni:
·
Protocol
to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and
Children, Supplementing the United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (Protokol Pergadangan Manusia,
Khususnya Perempuan dan Anak);
·
Protocol
Against the Smuggling of Migrants by Land Air and Sea, supplementing the United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(Protokol Penyelundupan Migran);
·
Protocol
against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Their Parts
and Components and Ammunition,
supplementing United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol
Perdagangan Senjata Gelap).
Dalam
Preambule Protokol, Negara Peserta (States
Parties) menyatakan tindakan efektif (effective
action) untuk mencegak dan memerangi perdagangan wanita dan anak memerlukan
pendekatan internasional komprehensif di negara-negara asal, transit, tujuan
(the countries of origin, transit, and destination) termasuk upaya-upaya untuk
mencegah perdagangan, menghukum pelakunya (trafficker), dan melindungi korbanya
termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional.
Indonesia
telah mengesahkan protocol ini pada tanggal 5 Maret 2009 dengan UU Nomor 14
Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish
Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol Untuk
Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan
Anak-anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang
Terorganisasi).[24]
Ketentuan mengenai larangan
perdagangan orang di Indonesia, pada dasarnya telah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan
perdagangan wanita dan anak lakilaki belum dewasa dan mengkualifikasikan
tindakan tersebut sebagai kejahatan. Selanjutnya, dalam Pasal 83 UU No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan,
menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun,
ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak sanksi yang dieberikan
terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat
kejahatan perdagangan orang.
Berbagai
upaya dan strategi telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia maupun organisasi
non-pemerintah dalam menghadapi perdagangan perempuan dan anak. Strategi
tersebut dibutuhkan atau dilakukan baik bersifat preventif maupun represif,
yaitu penguatan pada kebijakan migrasi serta hukum pidana untuk perlindungan
hukum bagi perempuan dan anak sebagai korban, serta diupayakan penanganan
sebagai korban tanpa mengesampingkan hak-haknya sebagai perempuan dan anak.
Selain
upaya memalui pembuatan instrumen hukum, yang mengatur secara umum maupun
khuhsus tentang perlindungan hukum terhadap perdagangan perempuan dan anak
seperti yang terakhir diantaranya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Pemerintah Indonesia juga membuat Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Peremnpuan dan Anak
(RANP3A)yang ditetapkan melalui Keppres Nomor 88 Tahun 2002. RANP3A ini
dimaksudkan sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah Indonesia dan
masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Dalam
Hukum Nasional Indonesia, sebelum
lahirnya UU 21 Tahun 2007 dan UU Nomor 14 Tahun 2009, upaya-upaya perlindungan
hukum untuk mencegah dan menangani kejahatan perdagangan perempuan dan anak
didasarkan pada ketentuan KUHP. Peraturan yang lain adalah UU No 39/1999
tentang HAM dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta beberapa
Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia antara
lain : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Nomor 182 tentang
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak, Undang-Undang No 7 Tahun 1984
Tentang Ratifkasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak dan lain-lainnya.
Pasal
297 KUHP secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di
bawah umur. Dilihat dari sudut korbannya, hampir seluruh kasus yang ditemukan
korbannya adalah perempuan dan anak-anak di bawah umur, termasuk bayi. Hanya
sebagian kecil kasus yang menyangkut tenaga kerja Indonesia, yang korbannya
juga lakilaki dewasa yang berarti tidak masuk dalam korban yang dilindungi oleh
pasal 297 KUHP. Kelemahan lain dari pasal 297 KUHP ini adalah hanya membatasi
ruang lingkup pada eksploitasi seksual, artinya pasal ini baru dapat menjaring
perdagangan manusia apabila korbannya digunakan untuk kegiatan yang bersifat
eksploitasi seksual, padahal ada bentuk-bentuk eksploitasi lain yang menjadikan
korbannya sebagai tenaga kerja, pembantu rumah tangga, bahkan untuk adposi
ilegal anak dan bayi[25].
Permasalahan
lain yang berkaitan dengan pasal 297 KUHP adalah tentang batas usia belum
dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki yang diperdagangkan. Seperti
diketahui, dalam KUHP tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan
batasan usia belum dewasa ataupun usia dewasa. Dalam pasal-pasal yang mengatur
tentang korban di bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan bahwa
korbannya harus di bawah umur, tetapi ada pula pasal-pasal yang secara khusus
menyebutkan usia 12 tahun, 15 tahun, 17 tahun sehingga tidak ada patokan yang
jelas
untuk
masalah umur ini. Sementara itu, menurut Burgerligh Wetbook (BW), usia belum
dewasa adalah di bawah 21 tahun atau belum menikah, sementara menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia belum dewasa adalah belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Undangundang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga menyatakan bahwa anak adalah
‘orang yang mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum
pernah kawin’. Disini dapat ditafsirkan bahwa seseorang di bawah umur 18 tahun
yang sudan kawin berarti tidak masuk kategori ‘anak’ lagi. Lebih lanjut dalam
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan”. Mengenai batasan usia ini harus ada satu
ketentuan yang tegas agar hanya ada satu pengertian.
Sebagai
upaya untuk menutupi kelemahan dalam KUHP,
pemerintah telah membuat Rancangan KUHP
dengan mengakomodir pasal-pasal yang terkait dengan perdagangan orang
secara eksplisit, yaitu :
a) Tindak Pidana Perdagangan Orang
b) Memasukkan orang ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan.
c) Mengeluarkan orang dari wiiayah Indonesia
untuk diperdagangkan
d) Perdagangan orang yang mengakibatkan luka
berat atau penyakit.
e) Perdagangan arang oleh kelompok yang
terorganisasi.
f) Persetubuhan dan pencabulan terhadap orang
yang diperdagangkan.
g) Pemasulan dokumen atau identitas untuk
memudahkan perdagangan orang.Penyalahgunaan kekuasaan untuk perdagangan orang.
h) Menyembunyikan orang yang melakukan
perdagangan orang.
i) Perdagangan orang di kapal.
Namun
demikian, apabila dicermati mengenai hal-hal di dalam Rancangan KUHP tersebut :
a) Pasal-pasal tersebut lebih bersifat
preventif.
b) Pengaturan tentang korban perempuan dan
anak lebih bersifat general, sehingga dianggap belum sesuai dengan kebutuhan
yang memerlukaan aturan yang lebih spesifik. Tidak adanya hukum yang khusus
yang mengatur tentang masalah perdagangan perempuan dan anak, mengakibatkan
meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan lemahnya penegakan hukumnya. Aturan
yang diberlakukan sementara ini adalah berdasarkan KUHP, UU Nomor 23 Tahun
2002, maupun UU Nomor 23 Tahun 2004.
Dalam
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ketentuan dipergunakan untuk
menjaring trafficker sebagaimana diatur
dalam Pasal 83 dan 88 yang berbunyi :
Pasal
83:
“Setiap
orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau
untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).
Pasal
88:
“Setiap
orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus
juta rupiah). Tetapi dalam undang-undang ini, cakupannya hanya terbatas pada
anak sehingga pelaku perdagangan orang dengan korban yang bukan anak-anak,
tidak dapat dikenakan Undang-undang ini.
Di
dalam ketiga UU tersebut, tidak adanya definisi resmi tentang perdagangan orang
baik dalam KUHP, Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
maupun Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka di dalam
praktek pasal-pasal tersebut sulit untuk digunakan. Pihak Kepolisian juga
melaporkan, bahwa pelaku perdagangan orang sering kali terdiri dari orang-orang
yang berbeda pada setiap tahapan perdagangan orang seperti misalnya orang yang
merekrut berbeda dengan orang yang mengantar atau membawa korban, dan lain lagi
orang yang menampung atau menyerahkan korban kepada pengguna. Sehingga jika ia
tertangkap oleh pihak berwajib, paling hanya bisa dikenakan tuduhan penipuan
atau perlakuan tidak menyenangkan yang ancaman hukumannya ringan tidak sepadan
dengan penderitaan.
Di
dalam konvensi ILO 182 dinyatakan bahwa penjualan dan perdagangan anak adalah "Suatu bentuk perbudakan atau
praktek serupa perbudakan yang pada hakekatnya sama saja dengan perbudakan itu
sendiri ". Karena itu penjualan dan perdagangan anak termasuk salah satu
bentuk terburuk Perburuhan Anak. Konvensi ILO No. 182 ini menekankan pentingnya
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak. Oleh karena
itu negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi ini berkewajiban untuk
menuangkannya daiam bentuk peraturan perundang-undangan dan melaksanakannya
melalui program-program aksi yang ditujukan untuk memberantas dan mencegah
bentuk-bentuk terburuk Perburuhan Anak.
Dalam
rangka pencegahan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, perlu dilakukan
upaya-upaya untuk peningkatan pendidikan, penyebarluasan informasi, dan
peningkatan pengawasan. Peningkatan pendidikan dan penyebarluasan informasi
merupakan faktor yang sangata penting. sebagaimana dilaporkan Rosenberg, profil perempuan dan anak korban perdagangan
orang serta mereka yang beresiko, pada umumnya berasal dari keluarga miskin,
kurang pendidikan, kurang informasi dan berada pada kondisi sosial budaya yang
kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Peningkatan pendidikan harus
menjadi perhatian semua pihak dan terutama ditujukan kepada anak-anak usia
sekolah dari keluarga miskin, anak jalanan, dan juga kepada mereka yang karena
sesuatu hal tidak dapat melanjutkan sekolahnya.
Selanjutnya,
mengenai penyebarluasan informasi pada dasarnya dapat dilakukan oleh siapapun
yang peduli dengan masalah perdagangan orang dan ditujukan kepada khalayak luas
baik dalam rangka memberikan informasi agar mereka mengetahui masalah
perdagangan orang, maupun dalam rangka mengajak mereka berpartisipasi sesuai
dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya dalam upaya-upaya
penghapusannya. Kampanye tentang kasus-kasus perdagangan orang dilakukan
melalui media massa (cetak maupun elektronik) dalam rangka pengembangan opini,
keberpihakan, dan dukungan massa.
Sementara
peningkatan pengawasan, terutama ditujukan terhadap para pekerja migrant.
Pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap operasional perusahaan jasa
tenaga kerja Indonesia dalam merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen
dan memberangkatkan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Upaya ini didukung
oleh masyarakat melalui DPR RI sehingga beberapa undang-undang telah
ditetapkan: Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, dan Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
3.1 Penindakan (repsesif)
Penindakan
hukum kepada trafficker, sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan oleh yang
berwajib (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi mengingat
perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-diam, kepada
masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM, disosialisasikan agar ikut
berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini dengan cara memberikan
informasi kepada yang berwenang jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi
adanya kegiatan perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus
kepada terjadinya kejahatan itu.
Pihak
Kepolisian di seluruh wilayah telah membuka hot-line yang dapat diakses oleh
masyarakat yang ingin melaporkan adanya tindak kejahatan, dan pihak Kepolisian
akan segera menanggapi dan menindaklanjuti informasi yang diberikan Perdagangan
orang menjadi ancaman bagi keamanan dalam negeri karena telah menjadi sumber
penghasilan yang sangat besar bagi sindikat kejahatan internasional. Kejahatan
lintas batas ini juga menjadi ancaman bagi kesehatan manusia karena korbannya:
pria, wanita dan anak-anak diperjual-belikan dengan tidak ada rasa kemanusiaan
dan tidak mempedulikan akibat kejiwaan dan penyakit yang dapat menimpa
korbannya.
Sebagai
bagian dari transnational organized crime, perdagangan orang tidak dapat
diperangi secara partial atau secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara.
Negara-negara yang anti perbudakan dan berniat melindungi kehidupan
warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama memerangi perdagangan orang.
Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G) antar LSM, organisasi masyarakat dan
perseorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan dikembangkan sehingga
terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan teroganisir tersebut.
Kerjasama
penindakan hukum antara Pemerintah Indonesia dengan negara tetangga dan negara
tujuan lainnya sudah lama dibina seperti misalnya dengan Pemerintah Australia
dan Hong Kong yaitu melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan
Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai Bantuan Timbal
Balik dalam Masalah Pidana (Treaty Between RI and Australia on Mutual
Assistance in Criminal Matters), dan Undang-undang No. 1 Tahun 2001 tentang
Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement
between the Government of Indonesia and the Government of Hong Kong for the
Surrender of Fugitive Offenders).
Kerjasama
dengan negara tetangga terdekat seperti Malaysia dan Singapura sangat penting
dilakukan. Komitmen bersama antara aparat penegak hukum Indonesia, Malaysia dan
Singapura untuk mengatasi perdagangan orang sebagaiman telah menjadi tujuan
dari Konferensi Penegakan Hukum Internasional tentang Perdagangan Orang, di Batam bulan Februari 2004, yang dihadiri 50 orang aparat penyidik dari
Malaysia, Singapura dan Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh Duta Besar AS
untuk Indonesia yang mengajak penyidik Kepolisian negara peserta untuk
menghukum pelaku perdagangan orang (trafficker) dan orang-orang yang terlibat
di dalamnya dengan hukuman seberat-beratnya.
Amerika
Serikat yang ditengarai sebagai negara tujuan perdagangan orang, memberikan
dukungan kuat kepada negara-negara lain sebagai daerah sumber atau sebagai
daerah transit, termasuk kepada Indonesia. Sejak awal tahun 2005, Amerika
Serikat menyatakan penguatan komitmen dukungannya melalui keterikatan kerjasama
Indonesia-Amerika Serikat senilai US$ 9 juta dalam periode waktu empat tahun,
dalam rangka memerangi perdagangan orang lintas batas dari dan ke Indonesia,
dan juga yang terjadi di dalam negeri Indonesia. Kerjasama tersebut ditujukan
untuk: pencegahan perdagangan orang melalui pendidikan dan cara lainnya;
memberikan bantuan, perlindungan dan reintegrasi korban perdagangan orang;
serta memperkuat upaya-upaya penegakan hukum untuk menghentikan pelaku
perdagangan orang (trafficker). Sebagai executing agencies adalahLSM
internasional dan badan-badan seperti Save the Children-AS, American Center for
International Labor Solidarity (ACILS), International Catholic Migration
Commision (ICMC), dan International Organization for Migration (IOM) bekerja
sama Instansi Pemerintah Indonesia, kelompok masyarakat madani Indonesia, dan
komunitas lokal.
Protokol
untuk mencegah, menindas, menghukum pelaku perdagangan manusia, khususnya
perempuan dan anak-anak, serta tambahan konvensi PBB terhadap kejahatan
Transnasional yang terorganisasi (Protokol Perdagangan), G.A. Res, 55/25, Annex
II, 55 U.N. GAOR Supp. (No.49) at 60, U.N. Doc. A/45/49 (Vol.I) (2001), mulai
berlaku 25 desember 2003 telah menentukan bahwa “Perdagangan Manusia” (human
trafficking) meliputi semua tindakan yang terkait dengan perekrutan,
pengangkutan, transfer, penjualan, atau pembelian manusia dengan pemaksaan,
penipuan, pencurangan atau taktik-taktik pemaksaan lainya yang bertujuan
menempatkan mereka dalam kondisi kerja paksa atau praktek-praktek serupa
perbudakan, dimana kerja dikuras lewat cara-cara pemaksaan jasmaniah atau non
fisik, termasuk pemerasan, penipuan, pencurangan, pengisolasian, pengecaman
atang penggunaan kekuatan fisik, atau tekanan psikologis.
Kejahatan
sebagai sebuah perilaku menyimpang, keberadaannya setua usia manusia itu
sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa “ crime is the oldest social problem “
(Alper, 1973 : 85). Karena kejahatan merupakan masalah yang selalu melekat
dalam kehidupan manusia. Dimana ada masyarakat disitu akan muncul kejahatan
(Ubisocius ubi crime). Karena kejahatan adalah hasil dialektika antara
kejahatan dan masyarakat. Kejahatan adalah hasil masyarakat dan masyarakat
menghasilkan kejahatan.
Meskipun
jaman telah berubah, namun perbudakan atau eksploitasi manusia terhadap manusia
yang lain terus terjadi. Ketika terjadi kesenjangan ekonomi yang tinggi
sedangkan sumber ekonomi terbatas maka ini semua berpotensi untuk melahirkan
kejahatan. Organisasi Internasional yang memberikan perhatian terhadap buruh
migran (IOM) memberikan definisi tentang perdagangan manusia sebagai berikut : trafficking in human beings occurs when a
migrant is illicity engaged (recruited, kidnapped, sold, etc) and/ or moved,
eithter within national or across international borders; intermediaries
(traffickers) during any part of this process obtain economicor other profit by
means of deception, coercion and/or other forms of exploitation imder
conditions that violate the fundamental human rights of migrants.
Berdasarkan
penjelasan tersebut diatas, jelas bahwa trafficking merupakan Pidana
Internasional. Oleh karena itu, mengingat prinsip-prinsip hukum Pidana
Internasional, semestinya semua negara berkewajiban untuk menanggulangi
trafficking tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Perdagangan
orang dapat mengambil korban dari siapapun, orang-orang dewasa dan anak – anak,
laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situsi dan kondisi
yang rentan.
Beberapa
faktor sangat mendukung atas tindakan kejahatan ini yang dimana kebanyakan
pelaku merasa kekurangan dan mencari jalan yang cepat untuk mendapatkan apa
yang dibutuhkan, salah satunya Human Trafficking yang dimana kebanyakan pelaku
merasa inilah satu-satunya jalan pintas untuk mendapatkan apa yang menjadi
kebutuhan dengan mudah dan cepat, apalagi mereka melihat peluang seperti itu di
indonesia sendiri masih sangat mungkin. Padahal hal tersebut menjadikan momok
yang tak patut dan merusak generasi bangsa yang seharusnya menjadi prioritas
utama dalm pemnbangunan suatu bangsa. Kebanyakan orang hanya berpikir praktis
tanpa melihat resiko dan akibat yang menantinya.
Masalah
trafficking perempuan dan anak dengan alasan dantujuan apapun tetap merupakan
suatu bentuk pelanggaran terhadap HAM.Indonesia sebagai Negara Peserta United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime beserta Negara Peserta
lainnya mempunyai tanggung jawab secara`moral dan hukum untuk menjamin
eberadaan harkat dan martabat yang dimiliki oleh seorang manusia. Sebagaimana menurut
Deklarasi Hak Asasi Manusia serta beberapa instrument Internasional lainnya.
Pemerintah bertanggung jawab dengan menegakkan hukum untuk memberi perlindungan
kepada orang-orang yang diperdagangan, wajib bertindak secermat-cermatnya untuk
mencegah, menginvestigasi, dan menghukum pelanggaran HAM dan memberikan
penyembuhan dan ganti rugi kepadakorban pelanggaran.
Perdagangan
manusia atau Human trafficking merupakan kejahatan yang luar biasa. Ia
merupakan kejahatan perbudakan modern atau modern slavery crime. Human
Trafficking ini merupakan kejahatan transnasional atau paling tidak melibatkan
beberapa negara. Sehingga Human Trafficking menjadi Pidana Internasional.
Oleh
karena itu dibutuhkan komitmen semua negara untuk menanggulangi human
trafficking tersebut. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam berbagai bentuk
antara lain: perjanjian internasional, protokol, dan lain-lain, tentang
pencegahan human trafficking.
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://helmayulita.wordpress.com/2012/02/08/human-trafficking/
· http://pchanoke.multiply.com/journal/item/30
·
http://hukumadil.blogspot.com/2009/04/tinjauan-konseptual-hukum-pidana.html
·
http://rizhan-hukum.blogspot.com/2010/12/human-trafficking.html
·
http://www.scribd.com/fajarnonoman/d/32824694-Hukum-Pidana-Internasional
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_manusia
D.
Undang-Undang tentang Trafficking
Berikut
ini beberapa peraturan perundang-undangan :
· Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
Pasal 285, 287-298; Pasal 506
· UU
RI No. 7 tahun 1984 (ratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan/CEDAW; pasal 2,6,9,11,12,14,15,16)
· UU RI No. 20 tahun 1999 (ratifikasi
konvensi ILO No. 138 tentang Usia
Minimum yang Diperbolehkan Bekerja)
·
UU RI No. 1/2000 (ratifikasi konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
· UU RI no. 29/1999 (ratifikasi konvensi
untuk Mengeliminasi Diskriminasi Rasial)
· Keppres No 36/1990 ( ratifikasi konvensi
Hak Anak)
E.
Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking
Perdagangan
orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks,
tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya
dibutuhkan pengetahuan dan keahlian profesional, namun juga pengumpulan dan
pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesama aparat penegak hukum
seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak-pihak lain yang
terkait yaitu lembaga pemerintah (kementerian terkait) dan lembaga non
pemerintah (LSM) baik lokal maupun internasional. Semua pihak bisa saling
bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengan kewenangan masing-masing
dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan
kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan secara terpadu. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan hak atas perlindungan dalam
hukum.
Dalam
konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan
jaringan kerjasama dengan sesama aparat penegak hukum lainnya di dalam suatu
wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama.
Kerjasama dengan aparat penegak hukum di negara tujuan bisa dilakukan melalui
pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi
pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara.
Upaya
Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO, dan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention
of Child Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini
adalah :
1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari
tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atas untuk memperluas angka
partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan,
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar
untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar,
3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar
untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan,
4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan
akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri,
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan
masyarakat terhadap trafficking anak.
F.
Hambatan Pemberantasan Trafficking
Upaya
penanggulangan perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak
mengalami berbagai hambatan. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama
ini, terdapat 3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya
tersebut, yaitu antara lain:
Budaya
masyarakat (culture)
Anggapan
bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan
dengan polisi karena akan merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah
melaporkan masalah yang dialami, dan lain sebagainya. Stereotipe yang ada di
masyarkat tersebut masih mempengaruhi
cara berpikir masyarakat dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya
kekerasan yang dialami korban perdagangan perempuan dan anak.
Kebijakan
pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan (legal substance)
Belum
adanya regulasi yang khusus (UU anti trafficking) mengenai perdagangan
perempuan dan anak selain dari Keppres No. 88 Tahun 2002 mengenai RAN penghapusan perdagangan perempuan dan
anak. Ditambah lagi dengan masih kurangnya pemahaman tentang perdagangan itu
sendiri dan kurangnya sosialisasi RAN anti trafficking tersebut.
Aparat
penegak hukum (legal structure)
Keterbatasan
peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan perempuan dan anak
berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian beberapa kasus
mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari perekrutan hingga
korban bekerja dilihat sebagai proses kriminalisasi biasa.