Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Minggu, 16 Januari 2011

ASAS TIDAK MENYERAHKAN WARGA NEGARA SENDIRI DIKAITKAN DENGAN POLITIK HUKUM NASIONAL TENTANG EKSTRADISI



Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Ini mengandung arti bahwa negara, -- termasuk di dalamnya Pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain – dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum (recht) di sini dihadapkan sebagai lawan dari kekuasaan (macht). Prinsip dari ini sistem ini disamping akan tampak dalam rumusan pasal-pasalnya, jelas sejalan dan merupakan pelaksanaan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang diwujudkan oleh cita hukum (rechtsidee) yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis.
Ciri-ciri dari negara hukum antara lain, adalah :
1. diakuinya hak asasi manusia;
2. adanya asas legalitas; dan
3. adanya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Mengingat kehidupan masyarakat sekarang telah menuju kepada kehidupan masyarakat yang global dan persoalan yang dihadapipun telah semakin komplek, maka hukum dalam konteks ini sangat diperlukan dan sekaligus berperan dalam menata kehidupan masyarakat menuju kepada ketertiban dan keadilan.
Setiap negara di dunia ini memiliki tata hukum atau hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas tata hukumnya dikenakan sanksi sebagai upaya pemaksa agar hukum tetap dapat ditegakkan. Si pelanggar harus mempertanggungjawabkan perbuatannya atau kejahatannya yang telah dilakukannya.
Akan tetapi tidak setiap orang akan rela mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia akan berusaha menghindarkan diri dari tuntutan dan ancaman hukum. Segala macam cara akan ditempuhnya, baik legal maupun illegal, untuk menghindarkan diri dari tuntutan dan ancaman hukum tersebut. Salah satu cara yang cukup efektif untuk menyelamatkan diri adalah dengan melarikan diri ke wilayah negara lain. Orang yang melarikan diri ke wilayah negara lain dengan maksud untuk menghindari tuntutan hukuman di negara tempatnya semula. Sekaligus telah melibatkan kepentingan kedua negara. Bahkan seringkali kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, tidak saja melibatkan kepentingan dua negara, tetapi seringkali lebih dari dua negara.
Beberapa abad yang silam, pada waktu teknologi belum begitu maju, seorang melarikan diri dari wilayah negara tempat kejahatan dilakukan tidak dapat bergerak begitu jauh. Paling jauh hanya ke wilayah negara tetangga terdekat. Dengan semakin majunya perkembangan teknologi yang mulai pada awal abad ke 19 dan mencapai puncaknya pada abad ke 20 ini, di samping dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, dilain pihak dapat menimbulkan pelbagai masalah antara lain timbulnya jenis-jenis kejahatan baru yang sangat mengganggu dan mengancam kesejahteraan hidup umat manusia. Kemajuan dalam bidang teknologi transportasi dan komunikasi baik darat, laut maupun udara disamping mempercepat dan memperlancar mobilitas umat manusia, juga sangat membantu usaha orang-orang yang ingin menyelamatkan diri dari tuntutan dan ancaman ukuman atas kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Usaha menyelamatkan dan melarikan diri tidak lagi terbatas hanya ke wilayah negara-negara tetangga terdekat, tetapi juga ke negara-negara yang jaraknya beribu-ribu mil di seberang lautan.
Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda yang ada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act of sovereignity) di dalam wilayah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri. Sebab tindakan demikian itu dipandang sebagai intervensi atau campur tangan atas masalah-masalah dalam negeri negara lain, yang dilarang menurut hukum internasional. Dalam hubungannya dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau berada dalam wilayah negara lain, maka negara yang memiliki yurisdiksi atas si pelaku kejahatan atau kejahatannya itu tidak boleh melakukan penangkapan dan penahanannnya secara langsung di dalam wilayah negara tempat sipelaku kejahatan itu berada. Seolah-olah pelaku kejahatan yang demikian itu memeperoleh kekebalan dari tuntutan hukum. Tetapi jka hal semacam ini dibiarkan, maka akan dapat mendorong setiap pelaku kejahatan, lebih-lebih jika dia secara ekonomis tergolong mampu untuk melarikan diri ke dalam wilayah negara lain.
Agar orang-orang seperti ini tidak terlepas dari tanggung jawabnya atas kejahatan yang telah dilakukannya, maka diperlukan kerjasama untuk mencegah dan memberantasnya. Sebab pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang hanya dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri dalam hal-hal tertentu sudah tidak bisa dipertahankan lagi, lebih-lebih pada masa abad teknologi sekarang ini. Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat di pelaku kejahatan itu berada, negara-negara yang memiliki yurisdiksi itu dapat meminta kepada negara tempat di pelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang terebut. Sedangkan negara tempat di pelaku itu berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan si pelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu dari negara yang mengajukan permintaan penyerahan. Cara atau prosedur semacam ini telah dilakukan dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum naional dan hukum internasional yang lebih dikenal dengan nama ekstradisi.
II. PERMASALAHAN
Dari uraian di atas, maka permasalahan yang penulis kedepankan adalah : “Apa yang menjadi tujuan politik hukum nasional dengan menetapkan asas tidak menyerahkan warga negara sendiri dalam hal ekstradisi, yaitu seperti tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi ?
III. PEMBAHASAN
Hugo de groot atau Grotius yang dikenal sebagai Bapak Hukum I nternasional (father of international law) dengan tegas menyatakan, setiap negara wajib menyerahkan setiap orang yang mencari perlindungan di dalam wilayahnya kepada negara tempatnya melakukan kejahatan. Pendapatnya ini didasarkan pada anggapannya tentang hukum alam yang dianggap berlaku secara universal, abadi dan terhadap siapapun juga. Oleh karena itu berdasarkan hukum alam, tiada seorangpun boleh lolos dari hukum dan hukuman. Maka demikian juga terhadap si pelaku kejahatan dimanapun dia berada haruslah dihukum. Kalau negara tempatnya berada tidak bersedia menghukum, maka terhadap penjahat pelarian tersebut wajib untuk dierahkan kepada negara dimana kejahatan itu dilakukan, sebagai negara yang berwenang mengadili atau menghukumnya. Pendapat Grotius ini dituangkan dalam sebuah adagium “aut punere aut dedere”. Demikian juga Vattel menganggap ekstradisi sebagai kewajiban hukum terutama dalam kejahatan-kejahatan yang bersifat serius.
Sebaliknya ada sarjana-sarjana yang berpendapat, apabila sebelumnya tidak ada permintaan penyerahan dari negara yang bersangkutan, maka tidak ada kewajiban bagi negara diminta untuk menyerahkan orang yang diminta.
Negara-negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta bila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak (seperti Belanda, Zaire, Ethiopia, Israel dan Turki) secara tidak langsung menjadikan wilayahnya sebagai gudang tempat penampungan para pelaku kejahatan yang melarikan diri. Hal ini akan dapat menghambat usaha-usaha masyarakat internasional dalam memberantas kejahatan karena penjahat pelarian itu, lebih-lebih yang berkaliber internasional, dengan aman dan bebas berkeliaran, yang hanya disebabkan oleh karena belum adanya perjanjian ekstradisi dengan negara peminta.
Sebaliknya tindakan negara-negara yang bergitu saja menyerahkan orang yang diminta, walaupun sebelumnya belum ada perjanjian ekstradisi dengan negara peminta, merupakan tindakan yang kurang menghormati hak asasi manusia. Sebab seringkali seseorang melarikan diri dari wilayah suatu negara tidak selalu bermaksud untuk menghindari diri dari ancaman hukuman, tapi menghindari dari perlakuan yang sewenang-wenang dari penguasa negara tersebut.
Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan berkembang menjadi hukum kebiasaan. Dari praktek dan hukum kebiasaan inilah negara-negara mulai merumuskannya di dalam perjanjian-perjanjian tentang ekstradisi, baik yang bilateral maupun multilateral ataupun multilateral-regional, disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru, sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Tetapi suatu hal patut dicatat bahwa sampai pada saat ini masih belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Namun dasar-dasar yang sama telah diterima dan diakui sebagai asas-asas yang melandasi ekstradisi. Asas-asas itu adalah :
1. Asas kejahatan ganda atau double criminality
2. Asas kekuasaan atau speciality
3. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik
4. Asas tidak menyerahkan warga negara
5. Asas non bis in idem
6. Asas kedaluarsa.
Sesuai dengan pokok bahasan dari makalah ini, maka penulis dalam hal ini hanya membahasa Asas tidak menyerahkan warga negara sendiri. Asas ini tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, “(1) Permintaan ekstradisi terhadap warganegara Republik Indonesia ditolak”.
Asas ini pada dasarnya memberikan kekuasaan kepada negara-negara untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri yang dituduh melakukan kejahatan di dalam wilayah negara lain atau diluar wilayah suatu negara. Oleh karena itu, jika orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari negara diminta, negara tersebut mempunyai kekuasaan untuk menolak permintaan negara peminta.
Dicantumkannya asas ini di dalam perjanjian dan perundang-undangan ekstradisi, disebabkan oleh karena kewarganegaraan seseorang sangat memegang peranan penting yaitu menyangkut status dari orang yang bersangkutan. Dan dengan demikian, juga hukum yang berlaku atas dirinya terutama yang menyangkut status personalnya tergantung dari kewarganegaraan orang tersebut. Demikian pula dalam lapangan hukum publik, masalah kewarganegaraan ini mempunyai peranan besar dan penting. Negara memberikan hak-hak dan membebani kewajiban-kewajiban tertentu kepada warga negaranya, tetapi tidak kepada orang asing. Orang asing dalam beberapa hal diperlakukan berbeda dengan warga negaranya sendiri.
Dalam kaitannya dengan asas tidak menyerahkan warga Negara sendiri untuk diadili di Negara lain, maka menurut hemat penulis cukup merepotkan pihak Indonesia dengan telah disahkannya perjanjian ektradisi antara Indonesia dengan Singapura untuk bisa menarik koruptor Indonesia yang telah berubah kewarganegaraan menjadi warga Negara Singapura diadili di Indonesia. Sebab, Singapura tidak akan mungkin menyerahkan warga negaranya sendiri untuk di adili di Negara lain. Kalaupun mau diadili, maka barang-barang bukti harus dibawa ke Singapura.
Hal ini adalah logis dan masuk akal, sebab seperti dikatakan oleh J.G. Starke : “Kewarganegaraan itu tiada lain daripada keanggotaan seseorang pada suatu negara”. Sebagai anggota dari suatu negara sudah tentu hubungannya dengan negara dimana dia menjadi anggota atau kewarganegaraan, mengandung segi kekhususan tersendiri pula.
Dalam hubungannya dengan ekstradisi, apabila warga negara dari negara diminta melakukan kejahatan di wilayah negara lain atau diluar wilayah suatu negara, kemudian negara yang merasa memiliki yurisdiksi untuk mengadili atas kejahatannya itu meminta penyerahan (negara peminta), negara diminta wajib untuk mempertimbangkan apakah warga negaranya itu akan diserahkan ataukah tidak.
Diberikannya kekuasaan kepada suatu negara untuk tidak menyerahkan warga negaranya, berdasarkan atas suatu pertimbangan bahwa negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya. Misalnya jika dia diserahkan akan dikhwatirkan dia akan diadili menurut sistem hukum dan peradilan yang sangat lain dan asing jika dibandingkan dengan sistem dan peradilan di negaranya sendiri. Tambahan pula, negara diminta mungkin sangat meragukan apakah peradilan negara peminta betul-betul bisa berjalan secara jujur, bebas dan obyektif sehingga warga negaranya yang diadili itu betul-betul memperoleh keadilan yang sama seperti kalau dia diadili dan dihukum di negaranya sendiri.
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan politik hukum nasional Indonesia yang menganut asas tidak menyerahkan warga negaranya sendiri dalam hal ekstradisi, disamping mengikuti konvensi internasional juga terutama adalah dalam rangka perwujudan tujuan dan peran negara dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya dari kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan penguasa negara lain jika diserahkan untuk diadili di negara lain tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Admawirya. Sejarah Hukum Internasional, terjemahan, Jilid I cetakan I, Binacipta, Bandung, 1969.
I. Wayan Parthiana. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1990. Cetakan II, 318 halaman.
J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Disertasi, Alumni, Bandung, 1979.
Subagio. Aneka Masalah Hukum Tata Negara RI, Alumni, 1976.

Perkembangan generasi Hak Asasi manusia (HAM)


Secar garis besar perkembangan pemikiran HAM dapat dibagi pada empat generasi. Generasi pertama, berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik, berdasarkan prinsip kebebasan dan ditujukan pada eksistensi insan pribadi dan kemungkinan perkembangannya. Secara lebih spesifik konsep hak asasi pertama ini lebih bernuansa hukum, antara lain mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak, hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang, dan lain-lain.
Generasi kedua, pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis, melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran generasi kedua menunjukkan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Akan tetapi pada generasi kedua ini pula, hak yuridis kurang mendapat penekanan, sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial budaya, hak ekonomi dan politik. Selajutnya lahir Generasi ketiga, sebagai reaksi pemikiran sebelumnya. Generasi ini menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum alam dalam satu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (The Rights Of Developement). Generasi ketiga juga merumuskan HAM sebagai hak bangsa-bangsa yang memperoleh dasar dari solidaritas bangsa-bangsa. Dalam pelaksanaannya, ternyata hasil pemikiran generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan antara penekanan hak ekonomi dan hak-hak lain yang menjadi terabaikan.
Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran HAM generasi ketiga, lahirlah Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negatif pada aspek kesejahteraan rakyat. Pemikiran generasi keempat dapat dilihat dalam Declaration of The Basic Duties of Asia Fasific and Government (1983). Deklarasi tersebut memuat beberapa masalah penting, sebagai berikut:

1. Pembangunan berdikari (Self Development). Yakni pembangunan yang membebaskan rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada rakyat sumber-sumber daya sosial-ekonomi.

2. Perdamaian. Dalam hal ini bukan semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan anti perang bintang. Tetapi justru bagaimana melepaskan diri dari budaya kekerasan (Culture of Violence) dan menciptakan budaya damai (Culture Of Peace).

3. Partisipasi rakyat. Artinya hak asasi manusia bukanlah tanggung jawab sepihak, melainkan menuntut partisipasi seluruh elemen masyarakat.

4. Hak-hak budaya. Adanya upaya dan kebijaksanaan penyeragaman merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi berbudaya, karena mengarah ke penghapusan kemajemukan budaya (multikulturalisme) yang seharusnya menjadi identitas kekayaan suatu komunitas warga dan bangsa

5. Hak keadilan sosial. Sebagai realisasinya, keadilan sosial tidak saja berhenti dengan menaiknya pendapatan perkapita, mellainkan terus berkelanjutan pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Beralih kepada pemahaman HAM di Indonesia, secara garis besar Prof. Bagir Manan membagi perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang).

Pasal-pasal dalam UDHR mewakili tiga generasi HAM sekaligus, bertalian dan merefleksikan sebuah kontinum sejarah perjuangan manusia untuk mencapai kemanusiaan yang sesungguhnya.

Menurut ahli hukum Prancis Karel Vasak (Weston, 1992), HAM dibagi menjadi tiga generasi.

Generasi pertama adalah HAM yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik yang tercantum dalam Pasal 2-12 UDHR. HAM dalam generasi ini merupakan bentuk aktualisasi dari doktrin kebebasan (liberte) dan sebagai bentuk pelepasan pengekangan individu oleh negara yang sebelumnya terjadi. HAM generasi ini lebih menunjukkan "kemenangan" semangat individualisme.
Liberté: Hak Sipil Politik
Generasi pertama, hak sipil politik muncul pada abad 17 hingga 18 melalui teori-teori kaum reformist yang berkaitan erat dengan revolusi-revolusi di Inggris, Amerika dan Perancis. Dimulai dengan filosofi politik tentang kebebasan individu dan hubungan ekonomi serta doktrin sosial “laissez-faire” (sebuah doktrin yang menentang campurtangan pemerintah dalam masalah ekonomi selain kepentingan untuk memperbaiki perdamaian dan hak kepemilikan). Generasi pertama ini lebih menempatkan hak asasi manusia dalam terminologi negatif (freedoms from) daripada sesuatu yang positif (rights to). Kepemilikan bagi generasi pertama ini adalah hak-hak sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 -21 Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang mana termasuk didalamnya adalah bebas dari diskriminasi gender, ras, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainya hak untuk hidup, bebas dan merasa aman; bebas dari perbudakan atau perbudakan tanpa disengaja, bebas dari penyiksaan dan kekejaman yang tidak manusiawi; penangkapan dan pengasingan yang sewenang-wenang, hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil; bebas dari campurtangan dalam hal-hal pribadi; bebas untuk berpindah dan menetap; hak untuk mendapatkan perlakuan yang layak pasca penyiksaan, bebas untuk berpikir, berpendapat dan beragama; kebebasan untuk beropini dan berekspresi; kebebasan untuk mendapatkan ketenangan dan berserikat; dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung atau melalui pemilihan yang bebas. Juga didalamnya adalah hak untuk memiliki kekayaan hak milik. Hak dasar inilah yang di perjuangkan pada saat revolusi Amerika dan Perancis dan yang mengilhami kebangkitan kapitalisme.
Namun akan salah bila kita menyatakan hak-hak tersebut dan hak generasi pertama lainnya merupakan ide “negative” semata seperti dipertentangkan dengan hak “positive.” Hak merasa aman, untuk mendapatkan pengadilan yang adil, untuk mendapatkan suaka atau perlindungan karena penyiksaan dan pemilihan yang bebas, sebagai contoh, tidak bisa diwujudkan tanpa tindakan nyata dari pemerintah. Konsep generasi pertama ini adalah harapan kebebasan, sebuah perlindungan yang melindungi seseorang, baik secara individu maupun dalam sebuah perserikatan dengan lainnya terhadap penyalahgunaan otoritas politik. Inilah pokok pikirannya. Yang ditonjolkan oleh konstitusi di hampir semua negara di dunia dan diadopsi oleh mayoritas kovenan dan deklarasi internasional sejak PD II, merupakan konsep dasar liberal barat tentang hak asasi manusia yang kadang-kadang dibuat dengan sentuhan romantisme yang mengetengahkan suatu kejayaan individualisme alaThomas Hobe dan John Locke terhadap statisme Hegelian.
Generasi kedua, HAM yang berkait hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tercantum dalam Pasal 22-27 UDHR. HAM dalam generasi ini lebih mencerminkan akomodasi terhadap nilai-nilai sosialisme dan sebentuk apresiasi terhadap doktrin persamaan (egalite). Generasi ini hadir sebagai kritik terhadap doktrin individualisme yang memberi toleransi atas terjadinya kemiskinan dan eksploitasi pemilik modal atas buruh.
Égalité : Hak Ekonomi, Sosial dan BudayaGenerasi kedua, hak ekonomi, sosial dan budaya berasal dari tradisi sosialis, yang telah dibayangkan oleh para penganut paham pergerakan Saint-Simonian di perancis pada awal abad 19 dan di promosikan dengan cara yang berbeda-beda melalui perjuangan-perjuangan revolusioner dan pergerakan kesejahteraan yang telah terjadi sejak saat itu. Hal ini, sebagian besar, merupakan suatu response terhadap penyalahgunaan perkembangan kapitalis dan konsepnya yang tidak kritis secara esensi mengenai kebebasan individu yang mentolerir dan bahkan meligitimasi ekploitasi kelas pekerja. Sejarah memperlihatkan bahwa hal ini merupakan ”counterpoint” terhadap generasi pertama akan hak sipil dan politik dimana mereka memandang hak asasi manusia lebih pada terminologi yang positif (hak untuk) dari pada terminologi negatif (bebas dari) dan mengharuskan lebih banyak intervensi negara untuk menjamin produksi yang adil dan distribusi nilai-nilai atau kemampuan yang ada. Ilustrasi dari beberapa hak-hak tersebut dijelaskan dalam pasal 22-27 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia seperti hak akan keamanan social, hak untuk bekerja dan hak perlindungan terhadap ketidakadaan pekerjaan, hak untuk mendapat standar hidup yang cukup untuk kesehatan dan kesehjateraan diri sendiri dan keluarga, hak untuk pendidikan dan hak untuk perlindungan terhadap hasil karya ilmiah, sastra dan seni.
Oleh sebab itu dengan cara yang sama kita tidak bisa mengatakan bahwa semua hak yang diangkat oleh masyarakat generasi pertama dalam hak sipil dan hak politik tidak dapat di dipandang sebagai “hak-hak negative” dan sebaliknya semua hak yang dianut generasi kedua dalam hak ekonomi, social dan budaya tidak bisa dilabel “hak-hak positif.” Sebagai contoh, hak memilih pekerjaan, hak untuk membentuk dan bergabung dengan kumpulan dagang, hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya masyarakat (pasal 23 dan 27) tidak harus mewajibkan tindakan nyata dari Negara guna menjamin ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Meskipun demikian, sebagian besar hak generasi kedua mengharuskan intervensi negara sebab hak tersebut menyangkut harapan akan materi dari pada barang-barang yang bersifat tidak nampak (non materi). Secara fundamental hak generasi kedua diklaim sebagai kesetaraan social. Akan tetapi, karena keterlambatan munculnya, socialist-komunist dan pengaruh “Dunia Ketiga” yang sesuai dengan masalah2 internasional, penginternasionalisasikan hak-hak ini relative lambat muncul. Dan dengan kekuatan kapitalisme pasar bebas yang menggunakan ”bendera” globalisasi pada awal abad 21, maka belum terlihat hak-hak keadilan tesebut akan muncul dengan segera pada waktu ini. Sebaliknya, dengan semakin jelas ketidak adilan sosial yang diciptakan oleh kapitalisme nasional dan transnasional yang bebas dan tidak ada pertanggung jawaban melalui penjelasan-penjelasan gender atau ras, maka mungkin harapan untuk hak-hak generasi kedua akan bertumbuh dan menjadi matang. Kecenderungan ini sudah jelas dengan berkembangnya Uni Eropa dan usaha-usaha yang lebih luas untuk meregulasi institusi keuangan interpemerintah dan Korporasi transnational guna melindungi kepentingan public.

Generasi ketiga, HAM yang berkait hak-hak solidaritas atau persaudaraan (fraternite) yang menunjukkan bangkitnya nasionalisme Dunia Ketiga seputar distribusi kekayaan secara sama dengan negara maju. HAM generasi ini dapat ditemukan dalam Pasal 28 UDHR.
Fraternité: Hak Solidaritas
Akhirnya, generasi ketiga yang mengusung hak solidaritas, dengan menarik inti dari dan menkonseptualkan kembali harapan-harapan dari dua generasi hak sebelumnya, perlu dimengerti sebagai suatu produk yang muncul dari kebangkitan dan kemunduran nation-state dalam pertengahan abad 20 terakhir. Bersandar pada pasal 28 Deklarasi HAM yang menegaskan “setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional” yang mana hak tersebut diangkat dalam deklarasi ini untuk dapat diwujudkan secara penuh, generasi ini muncul untuk mengangkat dan memperjuangkan enam hak yang di klaim oleh kedua generasi sebelumnya. Tiga dari hak-hak ini mencerminkan munculnya nasionalisme Dunia Ketiga dan revolusinya dalam mengangkat harapan-harapan (misalnya harapan untuk suatu pembagian kembali kekuasaan, kekayaan, dan nilai dan kemampuan penting lainnya): hak atas politik, economy, social, dan penentuan sendiri secara budaya, hak untuk perkembangan social dan hak untuk turut berpatisipasi dan merasakan manfaat dari “warisan untuk manusia. Tiga hak lain dari generasi ketiga adalah: hak untuk perdamaian, hak untuk lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, hak untuk memperoleh bantuan kemanusiaan bencana.
Semua enam hak ini cenderung dianggap sebagai hak kolekti yaitu menghendaki usaha-usaha bersama dan intensif dari semua kekuatan sosial. Akan tetapi, masing-masing dari ini juga mencerminkan dimensi individu. Maksudnya adalah meskipun dikatakan bahwa hak tersebut merupakan hak kolektif semua bangsa dan masyarakat (khususnya Negara-negara berkembang dan masyarakat yang masih bergantung) untuk menjamin sebuah tatanan ekonomi internasional baru yang akan menghilangkan halangan-halangan bagi pembangunan economy dan social mereka, ini juga bisa dikatakan merupakan hak individu setiap orang yang turut merasakan manfaat dari kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kepuasaan materi dan kebutuhan non materi lainya. Penting juga dikatakan bahwa mayoritas dari hak solidaritas ini adalah lebih bersifat aspiratif dan statusnya sebagai norma hak asasi manusia secara internasional masih tidak ambigiu.
Dengan demikian, dalam berbagai tahap sejarah modern, isi dari hak asasi manusia telah di defenisikan secara luas dengan harapan bahwa hak yang dianut oleh setiap generasi perlu saling mengisi bukan dibuang dan digantikan yang lain. Isi dari sejarah hak manusia mencerminkan suatu persepsi yang berkembang dari suatu tatanan nilai-nilai telah dipupuk yang mengharapkan adanya suatu keberlanjutan demi kestabilan manusia
 Di banyak negara, gagasan UDHR yang tertuang dalam pasal-pasalnya sering terhenti pada tingkat normatif (das sollen), sedangkan tingkat implementasi (das sein) tidak terealisasi maksimal, khususnya menyangkut generasi kedua HAM.

HAM atau ekonomi?
Sulitnya mengimplementasi nilai-nilai HAM generasi kedua tidak bisa dilepas dari perekonomian suatu negara. Di negara yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi seperti Indonesia, aneka ketentuan yang berkait dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak akan tertangani maksimal. Penyebab utamanya, kelangkaan dana yang sanggup mengcover agenda-agenda yang berdimensi ekonomi itu.

Negara-negara yang terbelakang secara ekonomi, tetapi telah membangun sistem politik demokratis, biasanya dihadapkan masalah dilematis antara memenuhi HAM warganya dengan risiko negara kian mengalami beban ekonomi amat berat atau tidak memenuhi HAM. Contoh, secara objektif Indonesia sulit memenuhi ketentuan Pasal 28H Perubahan Kedua UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Dilema ini sulit dijawab negara-negara yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi, termasuk Indonesia.

Intinya penghargaan dan pemenuhan terhadap HAM warga negara (khususnya HAM generasi kedua) tidak terlepas dari kondisi perekonomian suatu negara. Semakin sejahtera perekonomian suatu negara, semakin besar probabilitas bagi negara itu untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) HAM warganya.

Sebaliknya, kian terpuruk perekonomian suatu negara, kian besar probabilitas pelecehan terhadap HAM warganya yang dilakukan oleh negara.Akhirnya, kondisi semacam inilah yang membangkitkan pesimisme bahwa membicarakan masalah HAM tidak lagi relevan di negara-negara yang mengalami kebangkrutan ekonomi seperti Indonesia. Pasal-pasal HAM dalam konstitusi yang berdimensi ekonomi hanya menjadi deretan kata yang terdengar indah, tetapi hanya slogan kosong yang tidak pernah menjadi kenyataan. Boleh jadi pasal-pasal HAM itu sudah menjadi dead clause.

Jumat, 14 Januari 2011

Hugo grotius


Hugo Grotius (1583-1645) adalah seorang filsuf Belanda yang menjadi pionir dari pandangan-pandangan modern terhadap hukum internasional dan salah satu pemikir besar tentang hukum alamDia menulis puisi Latin pada usia 8 dan dihadiri Universitas Leiden 1594-1597. Ia mengambil gelar doktor dalam hukum di Orléans di 1599, selama tinggal di Prancis sebagai anggota dari misi diplomatik yang dipimpin oleh Johan van Oldenbarnevelt, Land's Advocate Belanda, sponsor politiknya selama 2 dekade berikutnya.Ia masuk praktek hukum swasta di Den Haag pada usia 16 dan 8 tahun kemudian dinamai pengacara negara (advokat fiskal) Pengadilan Belanda. Pada tahun 1608 ia menikah dengan Maria van Reigersberch, seorang Zeelander yang kaku kepribadiannya agak lunak dengan tekad sendiri dan akal. Selain sebagai filsuf, Grotius juga dikenal sebagai pengacara,penyair, dan teolog. Di dalam bidang hukum, Grotius telah menjembatani antara teori politik dan hukum masa Abad Pertengahandengan masa Pencerahan. Selain itu, ia juga mengembangkan suatu pandangan baru tentang hukum alam untuk melawan pandangan-pandangan aliran skeptisisme, sambil menunjukkan bahwa ada jawaban yang rasional tentang moral selain jawaban dari agama.

Salah satu karya Grotius yang terkenal adalah "Perihal Hukum Perang dan Perdamaian" (The Law of War and Peace) yang terbit tahun 1625. Di dalam karya tersebut, ia berargumentasi bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial dan makhluk yang bersaing. Akan tetapi, manusia dapat hidup dengan damai walaupun terdapat potensi konflik dalam dirinya. Hal itu dapat dicapai dengan cara menghormati hak-hak setiap orang.(1)

Hugo Grotius (latinisasi dari nama Belanda De Groot nama aslinya Hugeianus De Groot.) lahir di Delft pada tahun 1583, satu tahun sebelum pembunuhan William Diam House of Orange di Delft tahun 1584. Grotius menikah dengan Maria van Reigersbergen , biografi yang ditulis oleh Robert Fruin . Grotius meninggal pada tahun 1645 di Rostock di Jerman Utara, kelelahan setelah telah terdampar, mungkin pada kembali ke Belanda dari Swedia. Tahun kematiannya mendahului Perdamaian Westphalia (1648), titik awal hubungan internasional, diplomasi dan hukum modern dengan tiga tahun.
Dalam De iure Belli ac Pacis Grotius menggabungkan terinspirasi alam hukum teologis tradisional dengan konsep sekuler dan rasional modern dari hubungan hukum antara bangsa-bangsa. Ini adalah untuk pendekatan secara khusus bahwa sejak itu ia disebut ayah dari hukum internasional. 'Pada Hukum Perang dan Damai "adalah risalah komprehensif dan sistematis pertama pada subjek, pahala utama yang, bagaimanapun, hanya sintesis dari penulis tua dan pemikir. Sejak Grotius 'edisi kematian banyak dari karya-karyanya telah muncul, dalam bahasa Latin dan dalam bahasa, serta katalog dan bibliografi, yang paling sedikit maupun dari yang Ter Meulen dan Diermanse 's Bibliographie des écrits imprimés de Hugo Grotius (1950). Karakteristik untuk's bekerja Grotius adalah deskripsi dari Justum Bellum, Ius iklan Bellum dan Ius dalam Bello ( pendahuluan XXV ). De iure Belli ac Pacis mungkin telah menjabat sebagai kerangka teori untuk Perdamaian Westphalia pada 1648.(2)

1.wikipedia
2.http://www.ccel.org, http://www.bookrags.com.

Minggu, 09 Januari 2011

Dumping dalam perdagangan internasional

Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
Menurut Robert Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir, kekuaran pasar dan struktur pasar import, antara lain : Market Expansion Dumping, Cyclical Dumping, State Trading Dumping, Strategic Dumping, Predatory Dumping.
Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.
Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional agar terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.