Wellcome

SELAMAT DATANG SEMOGA APA YANG ANDA TEMUKAN DI BLOG INI BERGUNA BAGI ANDA.

Senin, 08 Maret 2010

KEBERADAAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TANDATANGAN DIGITAL DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Kaitannya Dengan Kesiapan Masyarakat Pelaku Usaha dan Sistem Penegakan Hukum

KEBERADAAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TANDATANGAN DIGITAL DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Kaitannya Dengan Kesiapan Masyarakat Pelaku Usaha dan Sistem Penegakan Hukum
A. Pendahuluan

Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika, terutama internet yang begitu pesat dengan segala fasilitas penunjangnya dalam peradaban manusia modern saat ini, telah membawa kita memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age). Berbagai bidang kehidupan akhirnya tanpa ampun dirambah oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika tersebut. Perkembangan teknologi komunikasi massa yang menekankan pada komunikasi antar individu manusia secara langsung, seperti halnya pada penggunaan telepon, mengalami kemajuan yang sangat berarti dengan digunakannya telepon bergerak atau yang lebih dikenal dengan 'cellular phone'. Dalam perkembangan dunia informatika, kemudian dikenal internet sebagai salah satu media untuk berkomunikasi.

Internet bukan merupakan objek yang kasat mata yang dapat disentuh dan dapat dirasakan. Internet merupakan lapisan kompleksitas teknologi dan jasa yang perlahan-lahan bergabung membentuk sesuatu yang dapat dinikmati oleh semua orang. Internet merupakan jaringan komputer terbesar yang ada di dunia, di mana sarana tersebut dapat menghubungkan jutaan umat manusia, tumbuh secara eksponensial. Jaringan yang terhubung ini menjadi antar jaringan (internetwork) karena memiliki faktor penggabung yang sama yang memungkinkan berbagai jaringan untuk bekerja sama.

Dalam era globalisasi, efisiensi dalam berbagai bidang kehidupan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan untuk mencapai tingkat perekonomian yang lebih baik dan lebih kompetitif. Kita akan tertinggal jauh dan tidak akan dapat bersaing dalam dunia usaha yang bergerak sangat cepat, apabila kita tidak dapat dengan cepat mengikuti dan mengaplikasikan perkembangan bidang perdagangan yang memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi informasi. Perdagangan melalui media internet yang sering disebut oleh masyarakat ekonomi dunia sebagai e-commerce, telah terbukti dapat meningkatkan efisiensi daya kerja dan menumbuhkan aktivitas bisnis baru yang merangsang tingkat pertumbuhan bidang perekonomian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa peraturan perundangan yang mengatur mengenai tata cara perdagangan melalui media internet sangat diperlukan untuk memberikan batasan-batasan serta kejelasan mengenai apa saja yang harus dilakukan dan apa saja yang tidak dapat dilakukan dalam melakukan perdagangan secara online tersebut.

B. Permasalahan

Transaksi elektronik yang dilakukan secara virtual (maya) sangat tergantung pada kepercayaan di antara para pihak yang terlibat. Hal ini terjadi karena aktivitas penggunaan internet adalah aktivitas yang maya yang berarti pihak-pihak yang berinteraksi tidak bertemu secara fisik. Untuk itu masalah pembuktian menjadi hal yang sangat penting, karena sangat riskan untuk mengandalkan hanya kepada kepercayaan untuk melakukan transaksi secara elektronik.

Akan tetapi sarana pembuktian yang diterapkan pada pada transaksi elektronik tetap saja bersifat maya atau tak berwujud, karena terbentuk dari suatu proses elektronik. Sehingga dengan demikian diperlukan suatu pengkajian atau penelitian mengenai pembuktian dimana pembahasannya diawali dari masalah pembuktian yang telah dikenal dalam ilmu hukum dan diterapkan dalam praktek hukum sehari-hari. Setelah itu barulah dipadukan dengan permasalah pembuktian transaksi elektronik dan tanda tangan elektronik.

C. Pembahasan

Sebelum menapak lebih jauh, ada baiknya kalau kita meninjau terlebih dahulu hakikat dari pembuktian. Pada umumnya apabila kita menemui permasalahan dan harus mengambil keputusan yang tepat terhadap permasalahan tersebut kita selalu berusaha untuk mengumpulkan berbagai macam fakta yang berkenaan dengan permasalahan tersebut. Dengan fakta-fakta yang telah terkumpul kita gunakan untuk membuktikan permasalahan tersebut dan kita mencari pemecahannya. Dalam cabang-cabang ilmu pasti fakta-fakta yang dikumpulkan guna menjadi bukti bagi suatu permasalahan sifatnya relatif pasti. Sebagai contoh, satu molekul air terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Apabila komposisi tersebut diubah maka akan menimbulkan suatu zat baru lagi. Tidak demikian halnya dengan ilmu hukum yang merupakan salah satu cabang dari ilmu sosial. Pembuktiannya bersifat kemasyarakatan, karena walaupun sedikit, terdapat unsur ketidakpastian. Oleh karena itu kebenaran yang dicapai merupakan kebenaran yang relatif. Kita harus memberikan keyakinan terhadap fakta yang dikemukakan itu harus selaras dengan kebenaran.

Apabila untuk memutuskan suatu sengketa atau kasus mutlak hanya menyandarkan pada keyakinan hakim ini adalah hal yang sangat riskan karena dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa keyakinan hakim tersebut akan bersifat subjektif, sehingga akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari sang hakim yang justru tidak memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara. Maka dari itu sewajarnyalah apabila dari dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa menjadi pula dasar pertimbangan bagi hakim agar dapat dicapai suatu keputusan yang objektif. Dalam hubungannya dengan arti pembuktian, Prof.Subekti berpendapat:

"membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan."

Alat-alat bukti yang diakui dalam peradilan perdata Indonesia diatur dalam HIR (Herzien Indonesisch Reglement) pasal 164 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) pada pasal 166 yang berbunyi:

"Alat-alat bukti terdiri atas :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah."

Selain daripada apa yang telah disebutkan diatas HIR masih mengenal alat pembuktian lain yaitu hasil pemeriksaan setempat, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut ini:

Pasal 153 (1) HIR yang berbunyi:

"Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka ketua boleh mengangkat satu atau dua orang komisaris daripada dewan itu yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan kepada hakim."

Pasal 154 HIR (hasil penyelidikan seorang ahli) yang berbunyi:

"Jika pengadilan negeri menimbang, bahwa perkara itu dapat lebih terang, jika diperiksa atau dilihat oleh orang ahli, maka dapatlah ia mengangkat ahli itu, baik atas permintaan kedua pihak, maupun karena jabatannya."

Tanpa mengabaikan pentingnya alat-alat bukti lainnya, pembahasan akan difokuskan terlebih dahulu kepada alat bukti tulisan. Hal ini disebabkan karena:

Permasalahan yang menjadi perhatian saat ini adalah, kita perlu menjawab apakah dalam acara peradilan, dokumen elektronik dapat dianggap sama surat yang telah kita kenal. Apakah kekuatan hukum dari dokumen elektronik tersebut sama dengan kekuatan hukum alat bukti surat dalam acara perdata?
Selain itu juga pada asasnya di dalam persoalan perdata, alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang lebih diutamakan jika dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Bahkan menurut definisi Prof. Mr. A. Pitlo, alat pembuktian adalah "Pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, menerjemahkan suatu isi pikiran".
Alat bukti tulisan ini menurut doktrin ilmu hukum dan undang-undang secara garis besar dibagi 2 macam :
1. Tulisan biasa
2. Tulisan yang berupa akta.

Tulisan yang berupa akta ini dibagi menjadi 2 yaitu :
1. akta di bawah tangan
2. akta otentik

Dari pembagian seperti di atas hal yang menjadi perhatian adalah bilamana suatu tulisan dikatakan sebagai tulisan biasa dan bilamana dikatakan sebagai tulisan yang berupa akta. Pengertian akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai alat bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.

Selain itu yang termasuk dalam akta adalah: cek, tanda terima (kuitansi), surat perjanjian, atau surat apa pun yang dibuat dan ditandatangani oleh orang yang berwenang dan disepakati oleh para pihak menjadi alat bukti.

Kemudian muncul permasalahan berikutnya, kapankah akta disebut sebagai akta di bawah tangan dan kapan akta tersebut disebut sebagai akta otentik. Sesuai dengan ketentuan pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi:

"Suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat."

Maka untuk membedakan apakah akta tersebut akta otentik atau akta di bawah tangan yang harus kita perhatikan adalah dilihat dari terbentuknya akta tersebut, apabila akta tersebut dibuat di hadapan atau dibuatkan oleh pejabat yang berwenang (notaris) maka akta tersebut adalah akta otentik. Apabila akta tersebut tidak memenuhi hal di atas maka akta itu adalah akta di bawah tangan.

Dalam hukum pidana yang ingin dicapai ialah kebenaran materil, menurut Menurut Wirjono, bahwa kebenaran itu biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu pada masa lampau.

Membicarakan mengenai pembuktian dalam hukum acara pidana tentunya tidak dapat meninggalkan dari ketentuan hukum mengenai alat bukti dan barang bukti yang ada di dalam KUHAP, mengingat alat bukti dan barang bukti menjadi dasar untuk memutus perkara pidana (dari pasal 183-189 KUHAP), dan barang bukti dalam pasal 39 KUHAP.

Menurut pasal 184 KUHAP alat bukti antara lain adalah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Alat bukti surat,
4. Petunjuk,
5. Keterangan terdakwa.

Pasal ini bersifat limitatif, artinya penggunaan alat bukti tersebut hanya yang disebutkan dalam pasal tersebut saja.

Dalam pasal 183 KUHAP, seorang hakim dapat memutus perkara berdasarkan minimal dua alat bukti (syarat minimum pembuktian). Selanjutnya dengan berbekal alat bukti yang diketemukan itu, hakim tersebut akan memperoleh keyakinan bahwa memang telah terjadi suatu tindak pidana. Jika kita cermati rumusan pasal 183 KUHAP tersebut, dengan dua alat bukti tersebut belumlah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, karena masih diperlukan keyakinan hakim atas dua alat bukti yang dihadirkan di sidang pengadilan. Jika dengan minimal dua alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan, maka berdasarkan pasal 183 dan 184 KUHAP pelaku tindak pidana dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sebenarnya dalam sistem hukum kita juga sudah dikenal suatu konsep keamanan untuk perdagangan yang agak mirip dengan konsep kriptografi kunci publik (penekanan pada konsep pasangan/pairs). Zaman dahulu, untuk keperluan otentikasi dengan mintra dagang, dipergunakan tongkat kayu yang dipatahkan menjadi dua. Jika orang hendak melakukan pencacahan atas suatu transaksi, orang menorehkan sebuah goresan yang menggores sambungan kedua tongkat (yang berpasangan) tersebut. Untuk mencocokkan, cukup dengan menyambungkan kedua tongkat tersebut dan melihat apakah goresan itu 'melintas' sambungan/patahan tongkat dengan baik.

Hal ini dapat kita lihat pada bunyi pasal 1887 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi:

"Tongkat-tongkat berkelar yang sesuai dengan kembarnya, harus dipercaya, jika dipergunakan antara orang-orang yang biasa membuktikan penyerahan-penyerahan barang yang dilakukannya atau diterimanya dalam jumlah-jumlah kecil, dengan cara yang demikian itu."

Alat bukti elektronik tidak dikenal di dalam KUHP. Namun demikian tidak berarti bila terjadi suatu perkara kejahatan dengan menggunakan komputer pelaku kejahatan tersebut lolos dari jeratan hukum. Dalam kejahatan komputer, ketentuan pasal 183 KUHAP dapat diterapkan meskipun perlu pembuktian lebih lanjut. Alat bukti yang mungkin ditemukan dalam suatu transaksi jika, berdasarkan pasal 184 KUHAP; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun biasanya keterangan saksi sangat sulit untuk diperoleh, mengingat pelaku tindak pidana ini biasanya melakukan aksinya secara sendirian. Paling mungkin jika terjadi penyertaan, maka antara pelaku dapat menjadi saksi bagi yang lainnya.

Berawal dari penggunaan bukti petunjuk yang bersumber, sebuah petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (pasal 188(2) KUHAP). Bila keterangan saksi dan keterangan terdakwa tidak diketemukan, maka petunjuk dapat diperoleh dari surat atau dokumen yang yang diketemukan, yang tentunya harus diketemukan persesuaian satu dengan yang lainnya mengenai alat bukti tersebut. Jika terdapat kesamaan bentuk, metoda atau cara dalam melakukan suatu kejahatan komputer (contoh: hacking komputer) maka dari situ akan diperoleh petunjuk (bukti awal), yang nantinya tetap harus dibuktikan dengan bantuan seorang ahli untuk menjelaskan kasus tersebut.

Unsur penegak hukum seringkali tertinggal dengan pesatnya perkembangan teknologi, jarak yang tercipta antara penegak hukum dengan teknologi juga kurang diantisipasi. Keadaan seperti ini terus berlanjut, sehingga menjadikan jalannya penegakan hukum atas kejahatan atau perselisihan yang berkaitan dengan pengunaan teknologi menjadi terhambat. Hal ini diperparah dengan kurang tanggapnya individu penegak hukum itu sendiri untuk memperkaya dirinya dengan pengetahuan baru yang terkait dengan teknologi.

Fasilitas yang kurang memadai juga merupakan penghambat bagi para aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti perkara-perkara yang terkait dengan segala sesuatu yang berbau teknologi. Dalam memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan penggunaan teknologi sebagai basisnya, hakim terkadang masih meraba sampai sejauh mana hal tersebut dapat terbukti dan dapat diputus dengan adil. Hal ini nampak dari putusan yang dikeluarkan berkenaan dengan suatu perkara yang menyangkut masalah teknologi informasi belakangan ini, perkara yang dilihat oleh beberapa pakar teknologi informasi sebagai perkara yang berat hukumannya, namun setelah diputus ternyata pelaku dapat bebas tanpa syarat. Hal ini juga berlaku bagi jaksa dan pembela dalam kasus pidana. Keterbatasan fasilitas tersebut menjadikan putusan, tuntutan atau pembelaan yang diajukan menjadi terkesan seadanya.

Begitu lebarnya jarak yang tercipta antara penegak hukum pada akhirnya mendorong diluncurkannya Rancangan Undang-undang Tanda Tangan Digital yang mempermudah aparat penegak hukum untuk memahami segala kasus dan permasalahan yang terkait dengan teknologi informasi.

Walaupun belum adanya suatu bentuk perundangan khusus mengatur mengenai hubungan subyek hukum yang terlibat di dalam transaksi yang menggunakan media elektronik, pembuat KUHPer telah memberikan keleluasaan untuk para pembuat perjanjian dalam bentuk suatu kebiasaan. Hal ini diatur dalam Bagian Keempat Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang penafsiran suatu perjanjian.

Pasal 1346 KUHPerdata memberikan keleluasaan lebih di mana suatu perjanjian mengikuti standar kebiasaan dalam negeri atau di tempat perjanjian telah dibuat (jika meragukan isinya), sehingga secara yuridis, walaupun tidak jelas ditekankan pengaturan mengenai tata cara pelaksanaan, jika hal tersebut sudah diakui sebagai suatu kebiasaan dalam perjanjian yang menggunakan media elektronik, maka kebiasaan tersebut mendapatkan pengakuan yuridis.

Rancangan Undang-undang tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kejelasan bagi para pelaku pengguna Teknologi Informasi yang dalam hal ini sangat berkaitan dengan penggunaan internet sebagai media untuk bertransaksi. Kelangsungan perdagangan yang menggunakan media elektronik tidak menutup adanya kemungkinan terjadinya perselisihan antara para pihak. Rancangan Undang-undang ini pada dasarnya bertujuan untuk mencari kerangka hukum untuk transaksi elektronik dan tanda tangan elektronik berdasarkan hukum Indonesia yang berlaku sekarang. Hal ini disebabkan karena asas pengadilan Indonesia mengharuskan hakim untuk tetap menerima suatu sengketa yang dibawa kehadapannya meskipun tidak ada hukum yang mengaturnya, dan sang hakim diharuskan menggali hukum yang hidup di masyarakat.

Jalannya perancangan Undang-undang Tanda Tangan Digital sangat memperhatikan kultur hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, hal ini dimaksudkan untuk menghindari segala bentuk benturan-benturan dalam pelaksanaan hukum itu sendiri nantinya. Pada dasarnya rancangan undang-undang tersebut akan menguntungkan banyak pihak yang menggunakan media elektronik sebagai media bertransaksi, karena transaksi yang menggunakan media elektronik dapat dibuktikan lebih cepat daripada menggunakan cara konvensional. Faktor keamanan juga menjadikan alasan mengapa rancangan undang-undang tersebut diluncurkan, mengingat begitu pentingnya isi dari setiap data yang dikirimkan. Faktor-faktor tersebut menjadikan isi dari rancangan undang-undang tersebut memberikan sedikit banyak memberikan perlindungan bagi pengiriman atau transaksi data antar pengguna media tersebut. Para pengguna media yang memanfaatkan media tersebut sebagai sarana transaksi data antara lain adalah perusahaan-perusahaan besar yang melaksanakan perjanjian atau pertukaran dokumen. Hal tersebut juga dilakukan di banyak negara, maka dari itu rancangan undang-undang tersebut dirasakan perlu untuk memberikan perlindungan terhadap data dan subjek hukum yang terlibat.

Kebiasaan masyarakat di mana kuantitas penggunaan teknologi informasi semakin hari semakin meningkat harus mendapatkan perhatian lebih agar tidak terjadi penyimpangan dalam penggunaannya. Kesiapan pelaku usaha dalam menghadapi kemajuan teknologi juga merupakan salah satu faktor yang utama, hal ini dapat terlihat dari banyaknya perusahaan yang telah mengaplikasikan teknologi internet dalam kehidupan perusahaannya, yang kemudian dikembangkan dengan melakukan transaksi yang nilainya tergolong besar dan beresiko tinggi melalui internet. Disamping itu perlunya kepastian masalah pembuktian dalam proses beracara di pengadilan juga merupakan faktor peluncuran rancangan undang-undang tersebut, sehingga aparat penegak hukum dapat memberikan pandangan-pandangan yang lebih objektif dalam melihat perkara yang berkaitan dengan Teknologi Informasi.

Hak Pengusahaan Perairan Pesisir

HP3 adalah sebuah norma baru dalam khasanah hukum nasional kita. Selama ini, perairan pesisir dan laut senantiasa diletakkan di bawah bayang-bayang doktrin open access, yang menutup peluang pemberian hak atas perairan pesisir. Harus diakui dominasi doktrin open access masih kuat menguasai benak para pengambil kebijakan di negeri ini. Mereka menganggap perairan pesisir dan laut sebagai milik semua orang sehingga hukum harus memastikan bahwa setiap orang terlindungi aksesnya pada perairan pesisir dan laut. Bagi penganut doktrin ini, di atas perairan pesisir dan laut haram hukumnya diterbitkan hak, sebab akan menimbulkan penguasaan yang eksklusif dan membatasi akses orang lain. HP3 adalah hak atas perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan atau usaha lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup permukaan laut, kolom air, hingga permukaan dasar laut. Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3.HP-3 sebagaimana dimaksud diatas meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud diatas  wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.

UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat (Pasal 18). Norma ini belum menunjukan siapa yang mendapat prioritas di antara ketiga subjek hukum tersebut. Akan tetapi ketentuan-ketentuan lainnya terang-benderang memberikan prioritas kepada masyarakat adat.
Seperti disinggung sebelumnya, HP3 baru dapat diberikan setelah Perda yang mengatur empat level perencanaan ditetapkan. Untuk menyusun Perda tersebut, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang akan ditetapkan dalam waktu dekat ini, Pemda wajib membentuk Komite Representasi Masyarakat sebagai prasyarat penyusunan empat level perencanaan tersebut. Komite ini akan terdiri atas unsur masyarakat adat/lokal termasuk nelayan, akademisi, pengusaha daerah, dan LSM. Struktur keanggotaan Komite yang demikian ini diharapkan mampu menjaga kepentingan masyarakat adat/lokal. Derajat keterlibatan Komite dalam proses penyusunan Perda juga diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Peranserta Masyarakat dalam Proses Penyusunan Renstra, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi. Dalam proses penyusunan Renstra, misalnya, keterlibatan Komite hanya bersifat informatif dan konsultatif. Akan tetapi, pada proses penyusunan rencana-rencana yang lebih operasional keterlibatannya dapat berupa inisiasi penyusunan rencana. Proses penyusunan Perda yang demikian demokratis tersebut memperkecil peluang HP3 dimonopoli para pengusaha dan menggusur nelayan. Bahkan sebaliknya, kita boleh berharap Perda-Perda tersebut nantinya justru akan memberikan prioritas HP3 kepada masyarakat adat termasuk nelayan. Dengan proses yang demikian demokratis, daulat rakyat di perairan pesisir akan tetap terjaga.


 Lebih jelasnya HP-3 dapat diberikan kepada:
a. Orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c. Masyarakat Adat.(menurut beberapa peraturan menjadi prioritas)


Ikhwal jangka waktu HP3, sangat bergantung pada karakteristik usaha yang akan dikembangkan. Jangka waktu tersebut sedemikian rupa supaya kondusif bagi tumbuhnya investasi. Jangka waktu 50 tahun sudah sangat memadai asalkan diberi peluang perpanjangan setelah jangka waktu pertama berakhir. Namun bagi keperluan masyarakat lokal, baik untuk kepentingan ekonomi maupun tradisi, jangka waktunya bisa tanpa batas, sepanjang kenyataannya mereka masih memanfaatkannya secara efektif. HP-3 diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang lagi untuk tahap kedua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. HP-3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3. Merujuk pada tradisi penguasaan perairan pesisir yang berkembang di masyarakat lokal serta praktik pengaturan hak atas perairan di negara lain, seperti Jepang dengan fishing right-nya, maka HP3 dapat mencakup penguasaan atas bagian-bagian perairan pesisir untuk usaha perikanan (termasuk budidaya mutiara dan rumput laut), pariwisata bahari, atau usaha lainnya, tetapi tidak mencakup pertambangan dasar laut. HP3 hanya dapat diberikan dalam wilayah laut teritorial.

Seperti halnya hak-hak tradisional atas perairan pesisir, HP3 juga dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Untuk mengakomodasi kebutuhan kontekstual masyarakat, maka HP3 dapat dijadikan jaminan utang. Sebaliknya, HP3 juga dapat berakhir jika jangka waktunya habis, diterlantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum. HP-3 berakhir karena:
a. jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi;
b. ditelantarkan; atau
c. dicabut untuk kepentingan umum.

Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis, administratif, dan operasional.
Persyaratan teknis tersebut meliputi:
a. kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya; serta
c. pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternative usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.



Persyaratan administratif yang dimaksud adalah:
a. penyediaan dokumen administratif;
b. penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem;
c. pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada pemberi HP-3; serta
d. dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah.

?    Persyaratan operasional yang dimaksud mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk:
a. memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan;
b. mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal;
c. memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai; serta
d. melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3.

Penolakan atas permohonan HP-3 dapat ditolak dengan catatan sang penolak wajib menyertakan salah satu alasan di bawah ini:
a. terdapat ancaman yang serius terhadap kelestarian wilayah Pesisir;
b. tidak didukung bukti ilmiah; atau
c. kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat dipulihkan.

Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud dilakukan melalui pengumuman secara terbuka. HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.

HP-3 diatur dalam UU NO 27 tahun 2007 ada empat poin penting yang perlu diperhatikan dalam pasal tersebut yaitu:
Pertama: Tata cara pemberian, pendaftaran dan pencabutan HP3 (sesuai amanat pasal 20 ayat 4)
Kedua: pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar (amanat pasal 27 ayat 2).
Ketiga: tata cara penetapan HP3 di kawasan tertentu, Izin pemanfaatan yang menimbulkan dampak besar dan perubahan status kawasan zona inti (pasal 51 ayat 3)
Keempat: mitigasi bencana dan kerusakan wilayah pesisir (pasal 59 ayat 4).

Pada kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum tidak dapat diberikan HP3. Untuk memastikan pelaksanaanya, maka HP3 hanya dapat diberikan manakala memenuhi syarat teknis (seperti kesesuaian dengan rencana zonasi dan rencana pengelolaan), administratif (seperti dokumen rencana aksi yang sesuai daya dukung ekosistem), dan syarat operasional (seperti kewajiban menghormati hak masyarakat adat). Dengan demikian HP3 baru dapat diberikan apabila sudah ada Perda yang mengatur Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi. Perairan pesisir sebagai kekayaan bangsa, menurut konstitusi dikuasai oleh Negara untuk kepentingan kesejahteraan seluruh anak bangsa tanpa kecuali. Nelayan, pembudidaya ikan, pengusaha budidaya mutiara dan wisata bahari adalah anak-anak bangsa yang berhak mendapatkan kesejahteraan dari sumberdaya alam perairan pesisir. UU-PWP3K mengatur bahwa yang berhak mendapatkan HP3 adalah WNI, badan hukum Indonesia, dan masyarakat adat. Norma ini belum menunjukan siapa yang mendapat prioritas di antara ketiga subjek hukum tersebut. Akan tetapi ketentuan-ketentuan lainnya terang-benderang memberikan prioritas kepada masyarakat adat. Seperti disinggung sebelumnya, HP3 baru dapat diberikan setelah Perda yang mengatur empat level perencanaan ditetapkan. Untuk menyusun Perda tersebut, sesuai dengan Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, Pemda wajib membentuk Komite Representasi Masyarakat sebagai prasyarat penyusunan empat level perencanaan tersebut.

Jumat, 05 Maret 2010

Asas-Asas Dalam Hukum Pidana internasional

Azas hukum pidana internasional dapat dibedakan antara azas-azas hukum yang bersumber pada hukum internasional dan azas-azas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Azas hukum yang bersumber pada hukum internasional dapat dibedakan dalam azas umum dan azas khusus. Azas umum hukum pidana internasional tidak berbeda dengan azas yang dianut dalam hukum internasional, yaitu azas pacta sunt servanda. Sedangkan azas khusus dalam hukum pidana internasional adalah :

a. Azas yang pertama berasal dari Hugo Grotius, yaitu au dedere au punere, yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas teritorial negara tersebut atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut.
b. Azas kedua berasal dari Bassiouni yaitu au dedere au judicare yang berarti setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional.
Azas hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum pidana nasional adalah azas legalitas, azas teritorial, azas nasionalitas aktif dan pasif, azas universal, azas non-retroaktif, azas ne bis in idem atau non-bis in idem.
2. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional;
Kaidah-kaidah hukum pidana internasional meliputi semua ketentuan-ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional dan perjanjian-perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral, mengenai kejahatan internasional dan ketentuan-ketentuan lain yang mungkin ada sepanjang mengenai tindak pidana internasional.
3. Proses dan instrumen penegakan hukum pidana internasional;
Proses dan instrumen penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional dan institusi penegak hukumnya, seperti INTERPOL dan Mahkamah Pidana Internasional. Prosedur penegakan hukum pidana internasional dapat dibedakan dalam dua cara yaitu :
a. Direct enforcement system (sistem penegakan secara langsung), adalah penegakan hukum pidana internasional dengan mengajukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court. Sedangkan kejahatan yang merupakan jurisdiksi kriminil mahkamah pidana internasional terdapat dalam Pasal 5 Ayat 1 Rome statute of the international criminal court 1998. Yaitu:
“The jurisdiction of the court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The court has jurisdiction in accordance with this statue with respect to the following crimes :
(a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity;
(c) War crimes;
(d) The crime of aggression.”
(Terjemahan bebas: jurisdiksi pengadilan ini dibatasi oleh kejahatan yang sangat serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Pengadilan mempunyai jurisdiksi seperti dalam statuta ini yang berkenaan dengan kejahatan berikut:
(a) Kejahatan genosida;
(b) Kejahatan melanggar kemanusiaan;
(c) Kejahatan perang;
(d) Kejahatan agresi.)

b. Indirect enforcement system (sistem penegakan tidak langsung), adalah penegakan hukum pidana internasional dengan suatu upaya mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap para pelaku tindak pidana internasional melalui undang-undang nasional. Selain itu dapat dilakukan melalui kerja sama internasional antara dua negara atau lebih.
4. Objek hukum pidana internasional.
Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional dan merupakan masalah sentral serta merupakan kajian utama hukum pidana internasional.

Rabu, 03 Maret 2010

HUBUNGAN ANTARA KONSTRUKSI DENGAN IUS CURIA NOVIT

Telah kita ketahui bersama bahwa seorang hakim yang notabene bukan seorang professor hukum, pada hakikatnya harus selalu tampil sebagai seorang ilmuan yang “generalis” (sebagian menguasai seluruh bidang hukum, entah hukum pidana, perdata, tata usaha Negara,tata Negara, islam , hjat dan lainnya), harus menyelesaikan penulisan opininya dalam wujud “putusan hakim” atau yang sering juga dikatakan putusan pengadilan
Dengan menelusuri sejarahya, ternyata ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 UU a quo , bukan hanya merupakan ketentuan umum (algemene norm), melainkan merupakan asas yang dianut secara universal dalam system peradilan. Oleh karena itu tepat sekali pembuat undang – undang memanfaatkan pasal 16 itu dibawah bab II denagn berjudul badan peradilan dan asasnya sebagai perbandingan Filipina mencantumkan asas itu dalam Yhe Civil Code Of The Philipines Article 9 yang berbunyi. : no judge or court shall decline to render judgement by reason of the silence, obscurity or insufficiency of the laws”
Menimbang bahwa dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas “pengadilan tifak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas”. Sama sekali tidak bertentangan dengan jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum, sebaliknya asas itu justru memperkukuh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana tercantum dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menimbang bahwa kalaupun benar nggapan pemohon bahwa pemohon telah mengalami kerugian dengan adanya beberapa putusan pengadilan yang tidak konsisten , kerugian tersebut bukan disebabkan oleh berlakunya pasal 26 UU a qua , melainkan oleh perbedaan penafsiran dan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan (hakim) menimbang bahwa dari uraian tersebut diatas tidak terbukti dadanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya pasal 16 UU a quo, oleh karena itu pemohon tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan harus dikatakan tidak adapat diterima.
Untuk mendekatkan putusan hakim dengan rasa keadilan , maka hakim tidak boleh hnaya sekedar menerapkan bunyi suatu kaidah hukum. Hakim harus memahami secara sungguh – sungguh kandungan makna dan tujuan suatu kaedah . dengan demikian dapat menentukan apakah perbedaan penerapannya akan memberi keadilan atau tidak. Dengan kata lain untuk mendekati rasa keadilan, hakimdalam perkara pidana, perdata, atau administrasi tidak boleh hanya berorientasi pada pengertian dan pendekatan formal. Fakta – fakta dan kebenaran yang bersifat materiil dan menjadi bahan menemukan hukum yang tepat.